Saudaraku yang dirahmati Allah…
Sudah sepatutnya kita bersyukur kepada Allah yg telah menganugrahkan petunjukNya untuk kita. Lihatlah saudara kita yg jauh disana maupun yang dekat saja, masih ada yang menjauhkan diri dari petunjukNya, padahal sudah jelas adanya petunjuk itu. Maka menjadi suatu kewajiban kita lah berdakwah, menyeru, mengajak saudara kita yang lain untuk menggapai petunjukNya.
Namun, ternyata berdakwah tak semudah membalikkan telapak tangan. Mengajak orang lain menggapai emas, meraih nikmat ternyata lebih sulit dari pada mengajak orang menyentuh bara, menggenggam api.
Sulit? Ya sulit. Penuh perjuangan, pengorbanan, menguras hati, menguras tenaga, menguras pikiran. Apa yang mungkin terjadi pada diri kita sebagai pengemban dakwah? Kelelahan, keletihan, emosi, dan mungkin keputus-asa-an.
Saudaraku, sulit memang berjuang dalam dakwah ini. Tapi ingatlah keadaan ini tidak hanya menimpa kita yang berdakwah di zaman ini, bahkan jauh sebelum kita lahir, berabad-abad silam keadaan ini telah menimpa para pendahulu kita. Mari kita renuangi saja salah satu perjuangan pendahulu kita yakni Nabi Nuh as.
Mari kita buka kisahnya dalam Al Quran Surat Nuh.
(Silakan membuka Al Qur’an sambil membaca catatan ini)
Dalam ayat 1-4 disebutkan bahwa Allah mengutus Nabi Nuh as untuk memberi peringatan terhadap kaumnya agar terhindar dari azab Allah yang pedih dengan bertakwa pada Allah dan mentaati Nabi Nuh as dengan kabar gembira bahwa Allah akan mengampuni segala dosa-dosa mereka dan memanjangkan umur mereka, namun ternyata mereka tak bergeming.
Dan di ayat 5-7, Nabi Nuh bertutur (mungkin inilah keluhannya sebagai manusia biasa),
"Ya Tuhanku Sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran) dan Sesungguhnya Setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.”
Saudaraku, bayangkan bila kita ada pada posisi yang sama ketika kita mengajak kepada kebaikan, orang yang kita ajak malah menutupkan telinga dengan jarinya bahkan menutupkan baju ke mukanya. Apa reaksi antum semua dalam keadaan ini? Kalau ana, mungkin sudah kesal minta ampun, omongan kita “dikacangin” malah diledek.
Tapi bagaimana dengan Nabi Nuh as? Ia tetap sabar, gigih dalam berjuang, bagaimana tidak? Ia mampu, kuat dalam berjuang beratus-ratus tahun walaupun hanya bisa mengajak 40 orang. Dan bagaimana ia tidak dikatakan sabar dan hebat, sementara yang ia hadapi bukan hanya umat pembangkang, tapi juga anak istri tercinta yang turut menjadi pembangkang. Bayangkan anak dan istri tercinta menjadi musuh yang sangat nyata, mereka bukannya menjadi penyokong perjuangan dakwah, malah menjadi tantangan yang amat menyakitkan. Lantas pantaskah kita merasa sudah cukup dalam perjuangan dakwah sementara rintangan kecil saja sudah membuat kita putus asa?
Saudaraku, mari kita lanjutkan kisah dalam Surat Nuh.
Nabi Nuh as kembali bertutur,
“kemudian Sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, kemudian Sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam. Maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun”
Saudaraku, dalam ayat ini disebutkan bahwa Nabi Nuh as melakukan dakwah dengan berbagai cara, dari mulai diam-diam, terang-terangan, mengkombinasikannya, namun tetap saja mereka tak mendengar sehingga Nabi Nuh as menyuruh mereka untuk segera bertaubat agar jangan sampai azab Allah datang kepada mereka. Inilah salah satu kasih sayang Nabi Nuh as terhadap umatnya, Ia menyuruh umatnya bertaubat. Ia tak ingin umatnya mendapat azab walaupun pembangkangan umatnya terhadap dirinya sangat menyakitkan hatinya. Apakah ketika kita mendapati hal yang sama, masih akan ada kasih sayang terhadap mereka (yang kita dakwahi)? Mungkin bukan kasih sayang yang ada, tapi mungkin kebencian yang ada. Kalau benar begini, apakah pantas kita disebut sebagai pejuang dakwah?
Silakan antum semua membaca ayat 11 – 20, inilah bukti tanda-tanda kebesaranNya, segala nikmat telah Allah berikan kepada kita semua, yang mungkin tak pernah sedikitpun kita sadari betapa besar nikmat-nikmat ini.
Kembali Nabi Nuh bertutur di ayat 21 – 22,
"Ya Tuhanku, Sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka, dan melakukan tipu-daya yang Amat besar".
Umatnya pun berkata kepada Nabi Nuh as di ayat 23,
"Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr (Wadd, suwwa', yaghuts, ya'uq dan Nasr adalah Nama-nama berhala yang terbesar pada qabilah-qabilah kaum Nuh.)” yang artinya mereka tak akan mengambil petunjuk Allah malah tetap dalam kesesatannya.
Akhirnya, sudah pada puncak perjuangan yang sangat sulit ini, Nabi Nuh as pun berdo’a kepada Allah (mungkin sudah pada puncak kekesalannya, sebagai manusia biasa).
“dan sungguh mereka telah menyesatkan banyak orang (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.” (ayat 24)
Maka Allah menurunkan azab kepada umat pembangkang ini,
“disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka, Maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah” (ayat 25)
Diakhir ayat ini pun kembali Nabi Nuh as berdo’a,
"Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat ma'siat lagi sangat kafir. Ya Tuhanku! ampunilah Aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahKu dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan".
Wah, Nabi Nuh as berdo’a agar umat pembangkang ini musnah dan tidak tersisa sedikitpun di muka bumi. Apakah benar Nabi Nuh as merasa sangat kesal sehingga berdo’a demikian?
Ternyata bukan, bukan karena kekesalan Nabi Nuh as berdo’a demikian, tapi karena beliau tak ingin umat yang zhalim terus ada di muka bumi yang nantinya akan melahirkan generasi-generasi yang zhalim juga.
Selain itu, Nabi Nuh as pun meminta ampun atas segala dosa-dosanya, (Hah, meminta ampun?) padahal, bukankah seoarang Nabi itu di maksum? Sudah dipastikan masuk surga, kenapa harus memohon ampun lagi? Inilah hamba Allah yang sejati, senantiasa takut akan murka Allah, senantiasa takut tak mendapat ridho Allah. Berkacalah kawan, setingkat Nabi saja masih merasa takut tak mendapat ampunan dari Allah padahal ia tengah berjuang menegakkan agama Allah, bagaimana dengan kita? Ada beberapa pengemban dakwah yang sudah merasa cukup dalam berjuang lantas yakin segala dosanya terampuni dan yakin akan masuk surga sementara beristigfar saja sudah jarang? Apa pantas bila dibandingkan dengan perjuangan Nabi Nuh as? Semoga kita tak termasuk di dalamnya.
Inilah akhir perjuangan Nabi Nuh as, yang tak kenal lelah, letih dan putus asa. Layakkah kita berkeluh kesah atas perjuangan dakwah sementara kita belum merasakan betapa pedihnya perjuangan dakwah para pendahulu kita? Tantangan yang kita hadapi saat ini belum ada apa-apanya. Perjuangan itu tk mudah kawan, tapi jadikanlah ia mudah dengan keikhlasan dan kesabaran, yakinlah Allah tak kan menelantarkan hambaNya yang tengah berada di medan dakwah. Semoga segores kata ini mampu membangkitkan semangat dakwah yang membara. Wallahu ‘alam.
Fathiyyah Amany
(Jika terdapat kesalahan dalam catatan ini, mohon koreksinya. Fahtiyyah bukan orang yang pandai menulis, hanya ingin mengungkapkan apa yang telah di dengar, dilihat, dibaca dan dicerna agar dapat berbagi dengan kawan-kawan semua. Mohon kritikan atas catatan ini. Syukron ^_^)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saling mengingatkan antara sesama muslim itu kebaikan...!!!