Minggu, 12 Februari 2017

Membangun Peradaban Dari Dalam Rumah



Mendapat materi ketiga dalam kelas matrikulasi kali ini benar-benar membuat saya “baper” apalagi disuguhi dengan NHW (Niece Homework) yang bikin deg-deg seerr. Ya, materi ketiga nya adalah tentang bagaimana membangun peradaban dari dalam rumah. Dengan tugas menjadikan keluarga tak hanya sebagai penerus keturunan, tapi menemukan peran spesifik dari masing-masing anggota keluarga untuk menjalani kehidupannya di muka bumi ini. Untuk mengetahui peran spesifik ini serta untuk membangun peradaban dari dalam rumah, kita harus terlebih dahulu memulainya dari dalam diri, dengan menemukan potensi unik diri kita sendiri, menjalin kekompakan dengan suami, mendukung & mengembangkan potensi anak dan memanfaatkan lingkungan pendukung.

Padamu ku jatuh cinta

Dalam membangun peradaban keluarga, maka peran seorang suami menjadi suatu hal yang penting. Seorang suami lah yang menjadi imam, menjadi nakhoda dalam perjalanan rumah tangga. Maka, memilih imam yang baik ketika sebelum menikah adalah keharusan dan membina kekompakan untuk terus memperbaiki diri bersama demi terwujudnya keluarga bahagia ketika setelah menikah juga keharusan.

Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, tak selamanya berjalan dengan tenang, gelombang sering kali menghampiri. Dan cara untuk meredakan gelombang itu adalah dengan jatuh cinta kembali padanya agar genggaman tangan tak terlepas, agar senantiasa diingatkan dengan arah tujuan pernikahan, agar kekompakan dalam proses pengasuhan anak senantiasa terjaga. Lantas, bagaimana cara untuk jatuh cinta lagi? Yaitu, dengan mengingat-ingat kembali saat kami berdua bertemu, mengingat kembali kenapa saya menerima lamarannya, kenapa saya menganggap ia layak sebagai imam dalam hidup saya dan ayah bagi anak-anak saya. Teringat saat saya bertemu dengannya di kali pertama, tak pernah sedikitpun terbayang oleh saya bahwa dialah yang akan menjadi suami saya. Allah menuntun saya dalam istkharah-istikharah yang saya lakukan untuk memutuskan sebuah keputusan besar dalam hidup saya.

Pada 10 Februari 2013, sebuah akad terjalin, sebuah janji terucap, dia yang saya pilih telah sah menjadi imam dalam hidup saya. Dan, pada hari Jum’at lalu, tepat 4 tahun sudah kami mengarungi bahtera rumah tangga, merajut tali kasih, membangun keluarga bahagia.

Jum’at pagi itu, saya membuat surat cinta sebagai hadiah pernikahan kami. Untaian terima kasih kepadanya yang sudah lelah berjuang mencari nafkah untuk keluarga, berjuang menjadi sosok ayah terbaik bagi anaknya dan berjuang membimbing istrinya agar seantiasa dalam jalanNya. Untaian kata cinta pun saya ungkapkan dalam sebuah surat panjang yang saya selipkan di dalam tas kerjanya, berharap ia membacanya setiba di kantor. Benar saja, ia membaca surat saya setibanya di kantor. Langsung setelah ia membaca surat saya, ia mengirimi saya pesan menyatakan rasa sayangnya kepada saya. Terharu menerima pengakuannya, tak terasa mata saya pun mulai berkaca-kaca. Sore tiba, suami saya pun tiba di rumah. Dengan masih merasa kelelahan, ia menghampiri saya, mengatakan kebahagiaannya setelah ia membaca surat saya dan ia juga mengatakan bahwa ia menangis bahagia ketika membaca surat saya. Bahkan ia mengatakan, ia menunjukkan surat saya kepada teman kantornya dan memberitahu temannya, betapa bahagia ia menerima surat saya. Bagaimana dengan saya? Ya, sambil tersenyum menahan tangis bahagia karena malu, mata saya pun berkaca-kaca. Saya pun bahagia. Berkali-kali saya bersyukur kepada Allah yang telah mengaruniakan suami yang begitu mengerti saya, begitu menyayangi saya, begitu memahami apa yang saya inginkan dalam menentukan arah dan tujuan rumah tangga kami dan ia yang mampu menjadi sosok ayah yang sebenarnya bagi anak saya.

Lalu sekarang, setelah saya memiliki suami yang begitu memahami saya, tinggallah kami menyusun rencana, menentukan langkah masa depan untuk mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya dan untuk membangun peradaban dari dalam rumah.

Anakku, Mutiaraku

 Selama 4 tahun pernikahan kami, hal yang sangat kami syukuri adalah amanah besar yg Allah karuniakan kepada kami, yaitu seorang putra yang kini berusia 3 tahun. Rafif Arkan Alfatih, kami memberikannya nama. Memiliki arti orang yg berakhlaq baik lagi kuat seperti Muhammad Alfatih, pahlawan pembela agama Allah. Di usianya yg masih balita, kakak, panggilan saya terhadap anak saya, sudah menjadi guru sekaligus alarm bagi saya. Bersamanyalah saya belajar banyak hal dan saya sering kali diingatkan tentang berbagai hal. Masa balitanya ini disebut juga masa golden age, masa keemasan dimana otaknya seperti sebuah spons, ia akan menyerap banyak hal dari apa yang ia lihat dan ia dengar dengan tidak menyaringnya dahulu. Dari hal inilah, saya beserta suami senantiasa berusaha untuk menjaga lisan kami ketika berucap dan menjaga tingkah laku kami. Kakak adalah anak yang periang, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, jika ia sudah mengetahui suatu hal maka ia akan tetap kuat pendiriannya dari apa yang ia tahu (keukeuh). Kakak juga merupakan anak yang penuh inisiatif, terkadang ia mampu melakukan apa yang bahkan tidak saya pikirkan dan itu menakjubkan. Dan ia juga adalah sang peniru ulung. Apa yang pernah kita katakana atau lakukan, ia mampu menirunya dengan sangat baik. Maka, hal ini lah yang mampu menjadi alarm bagi kami orang tuanya, bahwa kami harus senantiasa menjadi teladan baginya, karena ia bisa meneladani apa yang kami lakukan dengan sangat baik. Seiring dengan pertambahan usianya kelak, semoga Allah memudahkan kami sebagai orang tuanya dalam menuntunnya menemukan dan mengasah potensi besar yang ia miliki serta menjaga fitrah baik yang Allah beri. Seperti sebuah mutiara di dasar lautan, kelak ia akan bersinar setelah ia tumbuh dan terpelihara di dalam karang.

Syukurku

Memiliki suami yang penuh pengertian, memiliki seorang anak yang luar biasa adalah hal yang sangat saya syukuri. Beberapa luka masa lalu yang saya dapatkan seolah telah pulih terobati dengan hadirnya suami dalam kehidupan saya. Inilah kasih sayang yang Allah beri untuk saya. Masa kecil dan masa remaja merupakan masa sulit bagi saya, dimana para remaja lain tengah asyik menikmati dunianya, saya pun menikmati dunia remaja saya walau terasa perih. Dan pada saat saya kehilangan orang-orang yang saya cintai, ibu, uwa, dan guru yang paling saya sayangi, yang semuanya telah Allah panggil, maka Allah dengan segera mengganti kesemuanya itu dengan hadirnya suami tercinta, juga dengan keluarga baru (mertua) yang begitu menyayangi saya seperti anaknya sendiri. Dari sini lah saya bisa belajar menghargai apa yang saya miliki saat ini dan dari sini pula saya belajar untuk mengenal diri saya, perlahan-lahan belajar menemukan potensi yang saya miliki untuk membangun keluarga impian saya, membangun keluarga barokah, membangun peradaban mulia dalam keluarga, karena saya pernah mengalami memiliki keluarga yang tidak sempurna, maka sebisa mungkin saya ingin jadi lebih baik dari apa yang sudah saya lewati di masa lalu.  

Rumahku, Surgaku

Membangun peradaban dalam keluarga sama halnya dengan membangun surga dalam keluarga. Hal ini tak lepas dari dukungan dari factor lingkungan. Lagi-lagi saya sangat bersyukur Allah menakdirkan saya dan keluarga tinggal di sebuah kota kecil, cukup jauh dari ibu kota yang katanya kejam. Di kota kecil inilah kami mampu bertahan, membangun keluarga impian, membangun surga di dalam rumah. Saya pun bersyukur, kami tinggal tidak jauh dari masjid sebagai tempat bagi kami belajar, mendekatkan diri kepada Allah. Saya pun kembali bersyukur, kami berada di tengah-tengah masyarakat yang masih peduli satu sama lain, yang masih menggenggam rasa kebersamaan dan gotong royong dimana terdengar kabar bahwa di kota besar, masyarakatnya dikenal lebih individualis dan cenderung egois. Semoga dengan lingkungan yang sangat mendukung ini, kami mampu mewujudkan apa yang kami inginkan, membangun surga dari dalam rumah, membangun peradaban dalam keluarga.