Mendapat materi ketiga dalam kelas matrikulasi kali ini
benar-benar membuat saya “baper” apalagi disuguhi dengan NHW (Niece Homework) yang bikin deg-deg
seerr. Ya, materi ketiga nya adalah tentang bagaimana membangun peradaban dari
dalam rumah. Dengan tugas menjadikan keluarga tak hanya sebagai penerus
keturunan, tapi menemukan peran spesifik dari masing-masing anggota keluarga
untuk menjalani kehidupannya di muka bumi ini. Untuk mengetahui peran spesifik
ini serta untuk membangun peradaban dari dalam rumah, kita harus terlebih
dahulu memulainya dari dalam diri, dengan menemukan potensi unik diri kita
sendiri, menjalin kekompakan dengan suami, mendukung & mengembangkan
potensi anak dan memanfaatkan lingkungan pendukung.
Padamu ku jatuh cinta
Dalam membangun peradaban keluarga, maka peran seorang suami
menjadi suatu hal yang penting. Seorang suami lah yang menjadi imam, menjadi
nakhoda dalam perjalanan rumah tangga. Maka, memilih imam yang baik ketika
sebelum menikah adalah keharusan dan membina kekompakan untuk terus memperbaiki
diri bersama demi terwujudnya keluarga bahagia ketika setelah menikah juga
keharusan.
Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, tak selamanya
berjalan dengan tenang, gelombang sering kali menghampiri. Dan cara untuk
meredakan gelombang itu adalah dengan jatuh cinta kembali padanya agar
genggaman tangan tak terlepas, agar senantiasa diingatkan dengan arah tujuan
pernikahan, agar kekompakan dalam proses pengasuhan anak senantiasa terjaga. Lantas,
bagaimana cara untuk jatuh cinta lagi? Yaitu, dengan mengingat-ingat kembali
saat kami berdua bertemu, mengingat kembali kenapa saya menerima lamarannya,
kenapa saya menganggap ia layak sebagai imam dalam hidup saya dan ayah bagi
anak-anak saya. Teringat saat saya bertemu dengannya di kali pertama, tak
pernah sedikitpun terbayang oleh saya bahwa dialah yang akan menjadi suami saya.
Allah menuntun saya dalam istkharah-istikharah yang saya lakukan untuk
memutuskan sebuah keputusan besar dalam hidup saya.
Pada 10 Februari 2013, sebuah akad terjalin, sebuah janji
terucap, dia yang saya pilih telah sah menjadi imam dalam hidup saya. Dan, pada
hari Jum’at lalu, tepat 4 tahun sudah kami mengarungi bahtera rumah tangga,
merajut tali kasih, membangun keluarga bahagia.
Jum’at pagi itu, saya membuat surat cinta sebagai hadiah
pernikahan kami. Untaian terima kasih kepadanya yang sudah lelah berjuang
mencari nafkah untuk keluarga, berjuang menjadi sosok ayah terbaik bagi anaknya
dan berjuang membimbing istrinya agar seantiasa dalam jalanNya. Untaian kata
cinta pun saya ungkapkan dalam sebuah surat panjang yang saya selipkan di dalam
tas kerjanya, berharap ia membacanya setiba di kantor. Benar saja, ia membaca
surat saya setibanya di kantor. Langsung setelah ia membaca surat saya, ia
mengirimi saya pesan menyatakan rasa sayangnya kepada saya. Terharu menerima
pengakuannya, tak terasa mata saya pun mulai berkaca-kaca. Sore tiba, suami
saya pun tiba di rumah. Dengan masih merasa kelelahan, ia menghampiri saya,
mengatakan kebahagiaannya setelah ia membaca surat saya dan ia juga mengatakan
bahwa ia menangis bahagia ketika membaca surat saya. Bahkan ia mengatakan, ia
menunjukkan surat saya kepada teman kantornya dan memberitahu temannya, betapa
bahagia ia menerima surat saya. Bagaimana dengan saya? Ya, sambil tersenyum
menahan tangis bahagia karena malu, mata saya pun berkaca-kaca. Saya pun
bahagia. Berkali-kali saya bersyukur kepada Allah yang telah mengaruniakan
suami yang begitu mengerti saya, begitu menyayangi saya, begitu memahami apa
yang saya inginkan dalam menentukan arah dan tujuan rumah tangga kami dan ia
yang mampu menjadi sosok ayah yang sebenarnya bagi anak saya.
Lalu sekarang, setelah saya memiliki suami yang begitu
memahami saya, tinggallah kami menyusun rencana, menentukan langkah masa depan
untuk mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya dan untuk membangun peradaban
dari dalam rumah.
Anakku, Mutiaraku
Selama 4 tahun pernikahan kami, hal yang sangat kami syukuri
adalah amanah besar yg Allah karuniakan kepada kami, yaitu seorang putra yang
kini berusia 3 tahun. Rafif Arkan Alfatih, kami memberikannya nama. Memiliki
arti orang yg berakhlaq baik lagi kuat seperti Muhammad Alfatih, pahlawan
pembela agama Allah. Di usianya yg masih balita, kakak, panggilan saya terhadap
anak saya, sudah menjadi guru sekaligus alarm bagi saya. Bersamanyalah saya
belajar banyak hal dan saya sering kali diingatkan tentang berbagai hal. Masa
balitanya ini disebut juga masa golden age, masa keemasan dimana otaknya
seperti sebuah spons, ia akan menyerap banyak hal dari apa yang ia lihat dan ia
dengar dengan tidak menyaringnya dahulu. Dari hal inilah, saya beserta suami
senantiasa berusaha untuk menjaga lisan kami ketika berucap dan menjaga tingkah
laku kami. Kakak adalah anak yang periang, memiliki rasa ingin tahu yang
tinggi, jika ia sudah mengetahui suatu hal maka ia akan tetap kuat pendiriannya
dari apa yang ia tahu (keukeuh). Kakak juga merupakan anak yang penuh
inisiatif, terkadang ia mampu melakukan apa yang bahkan tidak saya pikirkan dan
itu menakjubkan. Dan ia juga adalah sang peniru ulung. Apa yang pernah kita katakana
atau lakukan, ia mampu menirunya dengan sangat baik. Maka, hal ini lah yang
mampu menjadi alarm bagi kami orang tuanya, bahwa kami harus senantiasa menjadi
teladan baginya, karena ia bisa meneladani apa yang kami lakukan dengan sangat
baik. Seiring dengan pertambahan usianya kelak, semoga Allah memudahkan kami
sebagai orang tuanya dalam menuntunnya menemukan dan mengasah potensi besar
yang ia miliki serta menjaga fitrah baik yang Allah beri. Seperti sebuah
mutiara di dasar lautan, kelak ia akan bersinar setelah ia tumbuh dan
terpelihara di dalam karang.
Syukurku
Memiliki suami yang penuh pengertian, memiliki seorang anak
yang luar biasa adalah hal yang sangat saya syukuri. Beberapa luka masa lalu
yang saya dapatkan seolah telah pulih terobati dengan hadirnya suami dalam
kehidupan saya. Inilah kasih sayang yang Allah beri untuk saya. Masa kecil dan
masa remaja merupakan masa sulit bagi saya, dimana para remaja lain tengah
asyik menikmati dunianya, saya pun menikmati dunia remaja saya walau terasa
perih. Dan pada saat saya kehilangan orang-orang yang saya cintai, ibu, uwa,
dan guru yang paling saya sayangi, yang semuanya telah Allah panggil, maka
Allah dengan segera mengganti kesemuanya itu dengan hadirnya suami tercinta,
juga dengan keluarga baru (mertua) yang begitu menyayangi saya seperti anaknya
sendiri. Dari sini lah saya bisa belajar menghargai apa yang saya miliki saat
ini dan dari sini pula saya belajar untuk mengenal diri saya, perlahan-lahan
belajar menemukan potensi yang saya miliki untuk membangun keluarga impian
saya, membangun keluarga barokah, membangun peradaban mulia dalam keluarga,
karena saya pernah mengalami memiliki keluarga yang tidak sempurna, maka sebisa
mungkin saya ingin jadi lebih baik dari apa yang sudah saya lewati di masa
lalu.
Rumahku, Surgaku
Membangun peradaban dalam keluarga sama halnya dengan
membangun surga dalam keluarga. Hal ini tak lepas dari dukungan dari factor lingkungan.
Lagi-lagi saya sangat bersyukur Allah menakdirkan saya dan keluarga tinggal di
sebuah kota kecil, cukup jauh dari ibu kota yang katanya kejam. Di kota kecil
inilah kami mampu bertahan, membangun keluarga impian, membangun surga di dalam
rumah. Saya pun bersyukur, kami tinggal tidak jauh dari masjid sebagai tempat
bagi kami belajar, mendekatkan diri kepada Allah. Saya pun kembali bersyukur,
kami berada di tengah-tengah masyarakat yang masih peduli satu sama lain, yang
masih menggenggam rasa kebersamaan dan gotong royong dimana terdengar kabar
bahwa di kota besar, masyarakatnya dikenal lebih individualis dan cenderung
egois. Semoga dengan lingkungan yang sangat mendukung ini, kami mampu
mewujudkan apa yang kami inginkan, membangun surga dari dalam rumah, membangun
peradaban dalam keluarga.