oleh : Kang Andri
Para shahabat, ketika mereka mendengar berita wafatnya Rasulullah saw, langsung berinisiatif mengadakan pertemuan di Tsaqifah milik Bani Sa’idah. Turut serta dalam pertemuan itu tokoh-tokoh Anshar dan Muhajirin. Mereka meninggalkan perkara-perkara yang penting bagi mereka, diantaranya mempersiapkan pemakaman Rasulullah saw. dan pergi membicarakan masalah pengganti beliau.
Dalam pertemuan itu Abu Bakar berkhutbah, “Wahai orang-orang, siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah meninggal dan siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan mati. Muhammad adalah Rasul yang telah datang sebelumnya Rasul-Rasul. Sesungguhnya Muhammad telah berlalu dan agama ini mesti ada yang menjalankannya. Berikanlah pandangan dan pendapat kalian”.
Walaupun pada mulanya mereka berbeda pendapat mengenai siapa orang yang sepantasnya untuk di bai’at atau criteria yang mesti dimiliki oleh orang yang akan di pilih, namun kaum muslimin ternyata menerima sepenuhnya pembai’atan Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah saw.
Peristiwa tersebut menunjukan bahwa para shahabat telah ijma’ (sepakat) wajibnya mengangkat imam atau pemimpin. Ibnu Khaldun mengatakan, “Kemudian bahwa melantik imam adalah wajib yang kewajibannya diketahui dari agama dengan ijma’ para shahabat dan tabi’in karena para shahabat Rasulullah saw. ketika beliau wafat segera membai’at Abu Bakar dan menyerahkan kepadanya untuk mengatur urusan mereka. Demikian pula dalam setiap era setelah itu. Manusia atau umat tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan kacau dalam suatu masa dari berbagai masa. Maka dinyatakanlah hal itu sebagai ijma’ dan menunjukkan wajibnya melantik imam”. Muqaddimah Ibnu Khaldun hal 160.
Ulama ahlu sunnah memperkuat argumentasi kewajiban ini dengan menyebutkan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw. sebagai landasan terwujudnya ijma’ para shahabat, antara lain firman Allah swt :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu. Q.S. an-Nisa : 56
Setelah mengemukakan berbagai argumentasi, Ibnu Khaldun berkesimpulan bahwa kehidupan dunia ini bukanlah tujuan dari keberadaan manusia. Kehidupan tiada lain hanyalah satu fase perjalanan dan ia merupakan jalan untuk mencapai satu tujuan yang lain, yaitu kehidupan yang kekal di akhirat. Hukum-hukum politik hanya memandang kemaslahatan dalam kehidupan ini. Adapun khilafah atau imamah yang pada hakikatnya adalah pewaris posisi kenabian dan berfungsi untuk menerapkan hukum-hukum Allah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dalam dua kehidupan, yaitu dunia dan akhirat.
Namun, dengan menjadikan akhirat sebagai standar. Urusan keduniaan diatur berdasarkan apa yang membawa pada kebahagiaan manusia atau kesengsaraan mereka di hari akhirat, termasuk kekuasaan alias pemerintahan dan mempunyai kelebihan disbanding dengan system pemerintahan yang lain. Maka, jelaslah kewajiban ditegakannya. Teori Politik Islam, 2001 : 104.
Mekanisme Pemilihan Imam
Para ulama sepakat bahwa keabsahan imam hanya dapat dicapai dengan dua cara. Pertama, dengan nash, yakni penunjukan langsung dari Allah. Kedua, dengan pemilihan oleh umat. Selama tidak ada dalil yang meligitimasi cara pertama, maka yang harus ditempuh adalah cara kedua, yaitu umatlah yang memilih siapa yang akan menjadi imam dan yang akan mengurusi pemerintahan.
Para ulama fiqih telah menetapkannya secara legal formal dalam satu rumusan yang berbunyi “Sesungguhnya imamah itu identik dengan aqdun (kontrak) antara umat dengan imam”. Kontrak imamah merupakan salah satu di antara bentuk kesepakatan yang ditimbulkan oleh keinginan manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual beli, penyewaan, hibah dan seterusnya. Hanya saja kontrak keimamahan dalam system social dapat disebut sebagai kontrak pertama atau terbesar, yang menjadi acuan semua bentuk kontrak lainnya serta melegitimasi terjadinya kontrak-kontrak yang lain. Lebih dari itu, kontrak tersebut menjadi pilar yang menopang berjalannya system pemerintahan. Karena itu, kontrak imamah menjadi sumber yang dijadikan landasan bagi seorang imam untuk memperoleh kekuasaannya.
Adapun prosedur yang menjadi jalan terselesaikannya kontrak tersebut dinamakan bai’at. Ibnu Khaldun berkata, “Dahulu kalau mereka membai’at seorang amir dan mengadakan perjanjian dengannya, mereka berjabat tangan satu sama lain, sebagai penekanan akan absahnya kontrak itu. Sehingga terlihat mirip dengan perbuatan yang dilakukan oleh seorang pembeli dan penjual. Karena itu, prosedur ini disebut bai’at, dari kata ba’a (menjual)”. Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal 174 pasal 29.
Meskipun demikian, diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan bentuk bai’at terhadap imam. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh praktik pemerintahan Islam yang berkembang dalam sejarah.
A.Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa ini, pengangkatan empat orang shahabat menjadi khalifah dilakukan dengan mekanisme yang berbeda:
1.Pemilihan bebas dan terbuka melalui forum musyawarah tanpa ada seorang calon sebelumnya. Mekanisme pemilihan seperti ini terjadi pada musyawarah terpilihnya Abu Bakar di Balai Pertemuan Tsaqifah Bani Sa’idah.
2.Pemilihan dengan cara pencalonan atau penunjukan calon oleh khalifah sebelumnya dengan terlebih dahulu mengadakan konsultasi dengan para shahabat terkemuka dan kemudian diberitahukan kepada umat dan mereka menyetujuinya. Penunjukan ini bukan karena nepotisme (hubungan keluarga atau persahabatan antara khalifah yang mencalonkan dengan calon yang ditunjuk) melainkan karena kualifikasinya. Mekanisme pemilihan ini dipergunakan ketika penunjukan Umar oleh Khalifah Abu Bakar.
3.Pemilihan Tim Formatur atau Majelis Syura yang dibentuk khalifah sebelumnya. Anggota Tim bertugas memilih salah seorang di antara mereka menjadi khalifah. Mekanisme ini dipergunakan ketika pemilihan Usman bin Afan melalui Majelis Syura yang dibentuk oleh khalifah Umar bin Khatab yang beranggotakan enam orang, yakni Ali bin Abu Thalib, Usman bin Afan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abu Waqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidullah serta Abdullah bin Umar tanpa punya hak suara. Tim ini dibekali oleh Umar dengan nasehat dan petunjuk.
4.Pengangkatan spontanitas di tengah-tengah situasi yang kacau akibat pemberontakan sekelompok masyarakat muslim yang menuntut keadilan atas pembunuhan Usman bin Afan. Mekanisme ini terjadi pada pengangkatan Ali bin Abu Thalib oleh sebagian besar kaum muslimin di Madinah.
Tiga macam mekanisme pemilihan yang pertama, dalam rangka suksesi kepemimpinan, menurut ibnu Hazm adalah cara yang menjadi ijma’ shahabat. Karena itu, ketiga cara tersebut menjadi ijma’ dan tidak boleh membuat cara lain. Tarikh al-Madzahabil Islamiyah, hal 96.
Ketiga cara tersebut lebih sesuai atau identik dengan system pemilihan kepala Negara dalam pemerintahan demokratis. Artinya cara pertama dapat diidentikan dengan pemilihan kepala Negara langsung oleh rakyat, sekalipun prosesnya berbeda. Cara kedua identik dengan seorang kepa Negara yang mempersiapkan penggantinya dengan terlebih dahulu berkonsultasi atau meminta pendapat dari para ahli. Sedangkan cara ketiga identik dengan pemilihan kepala Negara oleh wakil-wakil rakyat, sebagaimana lembaga perwakilan rakyat pada masa kini. System ketiga ini melahirkan konsep ahlul halli wal aqli. Dr. Abdul Karim Zaidan menyatakan bahwa “Ahlul halli wal aqli ialah orang-orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat para wakil itu karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya”. Fiqih Siyasah, 1995 : 67.
Konsep ini menunjukan bahwa kecenderungan umat Islam generasi pertama dalam memilih pemimpin adalah secara tidak langsung atau melalui perwakilan, karena kepercayaan terhadap kejujuran dan kecakapan para wakil-wakil rakyat. Dari segi fungsionalnya, ini sama seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Indonesia sebagai lembaga tertinggi Negara. Namun dalam beberapa aspek lainnya, antara ahlu halli wal aqli dan MPR tidak identik, karena yang paling mendasar adalah standar kualifikasi wakil-wakil rakyat yang duduk di majelis tersebut.
B.Pasca Khulafaur Rasyidin
Pada masa ini, mekanisme pengangkatan imam pada umumnya dilakukan melalui penunjukan putra mahkota, yakni penunjukan yang dilakukan oleh imam kepada putra atau keturunannya. Mekanisme pengangkatan ini melahirkan pemerintahan monarki, dinasti atau kerajaan, seperti Dinasti Umayah (berkuasa sejak 41 sampai 132 H) dan Dinasti Abasiyyah (berkuasa sejak 132 sampai 652 H / 750-1258 M).
Meskipun system pemerintahan monarki, namun dinasti-dinasti ini tetap memakai gelar khalifah. Memasuki akhir abad XIX M, system monarki diubah menjadi system monarki konstitusional.
C.Pasca Khilafah (Zaman Modern)
Mekanisme pengangkatan imam pada masa ini sangat beragam. Abad ini merupakan perubahan terakhir dari praktik pemerintahan di dunia Islam yang dipelopori oleh Mustafa Kemal Attaturk di tubuh kerajaan Turki Usmani pada abad XX.
Pada abad ini boleh dikatakan bahwa hamper seluruh pemerintahan di dunia Islam sudah mempunyai konstitusi dengan system dan bentuk pemerintahan yang berbeda. Pada umumnya, system pemerintahan abad ini berbentuk Republik.
Uraian singkat di atas menunjukan bahwa pemilu pada hakikatnya merupakan kontrak politik masyarakat yang berkaitan dengan kepemimpinan. Kedudukan pemilu sangat dipengaruhi oleh konstitusi suatu Negara serta system dan bentuk pemerintahannya. Karena itu timbul suatu persoalan yang mendasar, apakah system itu merupakan aktualisasi pemahaman masyarakat terhadap al-Quran dan Sunnah Rasul yang tidak menetapkan system dan bentuk pemerintahan yang harus diikuti? Atau disebabkan oleh pengaruh lingkungan budaya dan sejarah masing-masing Negara? Atau pengaruh perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan?
Wallahu ‘alamu bi Shawab