Senin, 23 Februari 2009

KONTRAK POLITIK

oleh : Kang Andri

Para shahabat, ketika mereka mendengar berita wafatnya Rasulullah saw, langsung berinisiatif mengadakan pertemuan di Tsaqifah milik Bani Sa’idah. Turut serta dalam pertemuan itu tokoh-tokoh Anshar dan Muhajirin. Mereka meninggalkan perkara-perkara yang penting bagi mereka, diantaranya mempersiapkan pemakaman Rasulullah saw. dan pergi membicarakan masalah pengganti beliau.
Dalam pertemuan itu Abu Bakar berkhutbah, “Wahai orang-orang, siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah meninggal dan siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan mati. Muhammad adalah Rasul yang telah datang sebelumnya Rasul-Rasul. Sesungguhnya Muhammad telah berlalu dan agama ini mesti ada yang menjalankannya. Berikanlah pandangan dan pendapat kalian”.
Walaupun pada mulanya mereka berbeda pendapat mengenai siapa orang yang sepantasnya untuk di bai’at atau criteria yang mesti dimiliki oleh orang yang akan di pilih, namun kaum muslimin ternyata menerima sepenuhnya pembai’atan Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah saw.
Peristiwa tersebut menunjukan bahwa para shahabat telah ijma’ (sepakat) wajibnya mengangkat imam atau pemimpin. Ibnu Khaldun mengatakan, “Kemudian bahwa melantik imam adalah wajib yang kewajibannya diketahui dari agama dengan ijma’ para shahabat dan tabi’in karena para shahabat Rasulullah saw. ketika beliau wafat segera membai’at Abu Bakar dan menyerahkan kepadanya untuk mengatur urusan mereka. Demikian pula dalam setiap era setelah itu. Manusia atau umat tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan kacau dalam suatu masa dari berbagai masa. Maka dinyatakanlah hal itu sebagai ijma’ dan menunjukkan wajibnya melantik imam”. Muqaddimah Ibnu Khaldun hal 160.
Ulama ahlu sunnah memperkuat argumentasi kewajiban ini dengan menyebutkan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw. sebagai landasan terwujudnya ijma’ para shahabat, antara lain firman Allah swt :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu. Q.S. an-Nisa : 56
Setelah mengemukakan berbagai argumentasi, Ibnu Khaldun berkesimpulan bahwa kehidupan dunia ini bukanlah tujuan dari keberadaan manusia. Kehidupan tiada lain hanyalah satu fase perjalanan dan ia merupakan jalan untuk mencapai satu tujuan yang lain, yaitu kehidupan yang kekal di akhirat. Hukum-hukum politik hanya memandang kemaslahatan dalam kehidupan ini. Adapun khilafah atau imamah yang pada hakikatnya adalah pewaris posisi kenabian dan berfungsi untuk menerapkan hukum-hukum Allah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dalam dua kehidupan, yaitu dunia dan akhirat.
Namun, dengan menjadikan akhirat sebagai standar. Urusan keduniaan diatur berdasarkan apa yang membawa pada kebahagiaan manusia atau kesengsaraan mereka di hari akhirat, termasuk kekuasaan alias pemerintahan dan mempunyai kelebihan disbanding dengan system pemerintahan yang lain. Maka, jelaslah kewajiban ditegakannya. Teori Politik Islam, 2001 : 104.

Mekanisme Pemilihan Imam
Para ulama sepakat bahwa keabsahan imam hanya dapat dicapai dengan dua cara. Pertama, dengan nash, yakni penunjukan langsung dari Allah. Kedua, dengan pemilihan oleh umat. Selama tidak ada dalil yang meligitimasi cara pertama, maka yang harus ditempuh adalah cara kedua, yaitu umatlah yang memilih siapa yang akan menjadi imam dan yang akan mengurusi pemerintahan.
Para ulama fiqih telah menetapkannya secara legal formal dalam satu rumusan yang berbunyi “Sesungguhnya imamah itu identik dengan aqdun (kontrak) antara umat dengan imam”. Kontrak imamah merupakan salah satu di antara bentuk kesepakatan yang ditimbulkan oleh keinginan manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual beli, penyewaan, hibah dan seterusnya. Hanya saja kontrak keimamahan dalam system social dapat disebut sebagai kontrak pertama atau terbesar, yang menjadi acuan semua bentuk kontrak lainnya serta melegitimasi terjadinya kontrak-kontrak yang lain. Lebih dari itu, kontrak tersebut menjadi pilar yang menopang berjalannya system pemerintahan. Karena itu, kontrak imamah menjadi sumber yang dijadikan landasan bagi seorang imam untuk memperoleh kekuasaannya.
Adapun prosedur yang menjadi jalan terselesaikannya kontrak tersebut dinamakan bai’at. Ibnu Khaldun berkata, “Dahulu kalau mereka membai’at seorang amir dan mengadakan perjanjian dengannya, mereka berjabat tangan satu sama lain, sebagai penekanan akan absahnya kontrak itu. Sehingga terlihat mirip dengan perbuatan yang dilakukan oleh seorang pembeli dan penjual. Karena itu, prosedur ini disebut bai’at, dari kata ba’a (menjual)”. Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal 174 pasal 29.
Meskipun demikian, diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan bentuk bai’at terhadap imam. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh praktik pemerintahan Islam yang berkembang dalam sejarah.

A.Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa ini, pengangkatan empat orang shahabat menjadi khalifah dilakukan dengan mekanisme yang berbeda:
1.Pemilihan bebas dan terbuka melalui forum musyawarah tanpa ada seorang calon sebelumnya. Mekanisme pemilihan seperti ini terjadi pada musyawarah terpilihnya Abu Bakar di Balai Pertemuan Tsaqifah Bani Sa’idah.
2.Pemilihan dengan cara pencalonan atau penunjukan calon oleh khalifah sebelumnya dengan terlebih dahulu mengadakan konsultasi dengan para shahabat terkemuka dan kemudian diberitahukan kepada umat dan mereka menyetujuinya. Penunjukan ini bukan karena nepotisme (hubungan keluarga atau persahabatan antara khalifah yang mencalonkan dengan calon yang ditunjuk) melainkan karena kualifikasinya. Mekanisme pemilihan ini dipergunakan ketika penunjukan Umar oleh Khalifah Abu Bakar.
3.Pemilihan Tim Formatur atau Majelis Syura yang dibentuk khalifah sebelumnya. Anggota Tim bertugas memilih salah seorang di antara mereka menjadi khalifah. Mekanisme ini dipergunakan ketika pemilihan Usman bin Afan melalui Majelis Syura yang dibentuk oleh khalifah Umar bin Khatab yang beranggotakan enam orang, yakni Ali bin Abu Thalib, Usman bin Afan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abu Waqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidullah serta Abdullah bin Umar tanpa punya hak suara. Tim ini dibekali oleh Umar dengan nasehat dan petunjuk.
4.Pengangkatan spontanitas di tengah-tengah situasi yang kacau akibat pemberontakan sekelompok masyarakat muslim yang menuntut keadilan atas pembunuhan Usman bin Afan. Mekanisme ini terjadi pada pengangkatan Ali bin Abu Thalib oleh sebagian besar kaum muslimin di Madinah.
Tiga macam mekanisme pemilihan yang pertama, dalam rangka suksesi kepemimpinan, menurut ibnu Hazm adalah cara yang menjadi ijma’ shahabat. Karena itu, ketiga cara tersebut menjadi ijma’ dan tidak boleh membuat cara lain. Tarikh al-Madzahabil Islamiyah, hal 96.
Ketiga cara tersebut lebih sesuai atau identik dengan system pemilihan kepala Negara dalam pemerintahan demokratis. Artinya cara pertama dapat diidentikan dengan pemilihan kepala Negara langsung oleh rakyat, sekalipun prosesnya berbeda. Cara kedua identik dengan seorang kepa Negara yang mempersiapkan penggantinya dengan terlebih dahulu berkonsultasi atau meminta pendapat dari para ahli. Sedangkan cara ketiga identik dengan pemilihan kepala Negara oleh wakil-wakil rakyat, sebagaimana lembaga perwakilan rakyat pada masa kini. System ketiga ini melahirkan konsep ahlul halli wal aqli. Dr. Abdul Karim Zaidan menyatakan bahwa “Ahlul halli wal aqli ialah orang-orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat para wakil itu karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya”. Fiqih Siyasah, 1995 : 67.
Konsep ini menunjukan bahwa kecenderungan umat Islam generasi pertama dalam memilih pemimpin adalah secara tidak langsung atau melalui perwakilan, karena kepercayaan terhadap kejujuran dan kecakapan para wakil-wakil rakyat. Dari segi fungsionalnya, ini sama seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Indonesia sebagai lembaga tertinggi Negara. Namun dalam beberapa aspek lainnya, antara ahlu halli wal aqli dan MPR tidak identik, karena yang paling mendasar adalah standar kualifikasi wakil-wakil rakyat yang duduk di majelis tersebut.


B.Pasca Khulafaur Rasyidin
Pada masa ini, mekanisme pengangkatan imam pada umumnya dilakukan melalui penunjukan putra mahkota, yakni penunjukan yang dilakukan oleh imam kepada putra atau keturunannya. Mekanisme pengangkatan ini melahirkan pemerintahan monarki, dinasti atau kerajaan, seperti Dinasti Umayah (berkuasa sejak 41 sampai 132 H) dan Dinasti Abasiyyah (berkuasa sejak 132 sampai 652 H / 750-1258 M).
Meskipun system pemerintahan monarki, namun dinasti-dinasti ini tetap memakai gelar khalifah. Memasuki akhir abad XIX M, system monarki diubah menjadi system monarki konstitusional.

C.Pasca Khilafah (Zaman Modern)
Mekanisme pengangkatan imam pada masa ini sangat beragam. Abad ini merupakan perubahan terakhir dari praktik pemerintahan di dunia Islam yang dipelopori oleh Mustafa Kemal Attaturk di tubuh kerajaan Turki Usmani pada abad XX.
Pada abad ini boleh dikatakan bahwa hamper seluruh pemerintahan di dunia Islam sudah mempunyai konstitusi dengan system dan bentuk pemerintahan yang berbeda. Pada umumnya, system pemerintahan abad ini berbentuk Republik.
Uraian singkat di atas menunjukan bahwa pemilu pada hakikatnya merupakan kontrak politik masyarakat yang berkaitan dengan kepemimpinan. Kedudukan pemilu sangat dipengaruhi oleh konstitusi suatu Negara serta system dan bentuk pemerintahannya. Karena itu timbul suatu persoalan yang mendasar, apakah system itu merupakan aktualisasi pemahaman masyarakat terhadap al-Quran dan Sunnah Rasul yang tidak menetapkan system dan bentuk pemerintahan yang harus diikuti? Atau disebabkan oleh pengaruh lingkungan budaya dan sejarah masing-masing Negara? Atau pengaruh perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan?


Wallahu ‘alamu bi Shawab

Selasa, 17 Februari 2009

INDAHNYA MENUTUP AURAT

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوْ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي اْلإِرْبَةِ مِنْ الرِّجَالِ أَوْ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. النور:31
Katakanlah (olehmu Muhammad), kepada wanita-wanita mukminat, hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suaminya, bapaknya, bapak dari suaminya, puteranya, putera dari suaminya, saudaranya, putera dari saudara laki-lakinya, putera dari sadara perempuannya, perempuan muslim (lainnya), hamba sahaya yang mereka miliki, pelayanan yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan, dan janganlah mereka memukulkan kakinya (ke bumi) agar diketahui perhiasan yang tersembunyi (pada kakinya itu), bertaubatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar mendapat keberuntungan. An-Nur:31

Tafsir Mufradat
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ “dan hendaklah memelihara kemaluannya”. Al-Qurtubi mengatakan, yang dimaksud ayat ini mencakup perintah menutup aurat dan memeliharanya dari perbuatan zina sebagaimana dalam hadis diterangkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada kakek Bahz yang bernama Muawiyah bin Haidah:
ِاحْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
”Peliharalah auratmu melainkan kepada isterimu atau hamba sahaya yang kamu miliki! H.r. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah
Dan dalam Alquran diterangkan:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ * إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. المؤمنون:5-6
(orang-orang yang beriman itu adalah) mereka yang memelihara kemaluannya. Kecuali kepada isteri-isterinya atau hamba sahaya yang mereka miliki. Al-Mu’minun:5-6
زِينَتَهُنَّ adalah perhiasan, seperi, anting, kalung, gelang dan lain-lain. Atau bisa juga yang dimaksud oleh ayat adalah, anggota-anggota tubuh yang biasa ditempeli perhiasan yang anggota tubuh tersebut haram dilihat oleh orang yang bukan mahramnya.
مَا ظَهَرَ مِنْهَا إِلاَّ (kecuali yang biasa nampak daripadanya). Lafad ayat ini mubham, artinya perlu penjelasan dan batasan yang jelas, sebab dalam Alquran tidak diterangkan secara sarih (jelas) apa yang dimaksud ma zahara minha. Namun, ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud ayat itu adalah baju, cincin jari atau perhiasan lainnya yang tidak dapat disembunyikan. Ada juga yang berpendapat, maksudnya adalah wajah dan telapak tangan. Pembahasan ini –Insya Allah- akan dijelaskan dalam sub judul Ahkamusy Syar’i.
بِخُمُرِهِنَّ : Lafad ini bentuk jamak dari خمار yang berarti tutup kepala. Ibnul Manzhur berkata dalam kitabnya Lisanul Arab,”Khimar itu sesuatu yang biasa digunakan tutup kepala oleh perempuan”.
جُيُوبِهِنَّ : Lafad ini jamak dari جيب yang biasa diterjemah dengan dada., padahal arti pokok adalah sebuah lubang di bagian atas jilbab atau baju, yang dengan adanya lubang tersebut terlihatlah sebagian dada perempuan. (Tafisur Munir juz XVIII:211 dan Tafsir Ash-Shabuni II: 144-145)

Sababun Nuzul Ayat
Abdullah bin Jabir menceriterakan, bahwasanya Asma binti Mirtsad memiliki sebuah kebun kurma. Lalu ada beberapa perempuan memasuki kebun tersebut tanpa memakai izar (pakaian sejenis sarung) sehingga nampak gengge, dada dan jambul mereka. Maka Asma berkata kepada mereka,” ما أقبح هذا (Betapa jeleknya perbuatan kalian ini)”. Kemudian turunlah ayat di atas. H.r. Ibnu Abu Hatim

Makna Global Ayat
Pada ayat sebelumnya, yakni Alquran surat An-Nur:30, Allah swt. memerintahkan kepada laki-laki mukmin agar menundukkan sebagian pandangan serta memelihara kemaluan dan auratnya. Demikian juga dalam ayat ini, Allah swt. memerintahkan kepada perempuan-perempuan mukminat hal yang sama. Namun, dalam ayat ini ada tambahan yaitu, mereka tidak boleh menampakkan perhiasaannya kecuali kepada mahramnya, karena hal itu lebih utama dan lebih terpelihara baginya, kecuali perhiasan yang biasa nampak, seperti baju, cincin, celak, atau yang lainnya, itupun tanpa ada maksud memperlihatkannya, memakainya dengan sombong atau niat yang jelek. Sebab dalam hadis diterangkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ يَمْشِي فِي بُرْدَيْهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ فَخَسَفَ اللهُ بِهِ اْلأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. رواه أحمد ومسلم
Dari Abu Hurairah, ia berkata,”Rasululah saw. bersabda,”Ada seseorang berjalan (berlagak) dengan sombong pada pakaian yang dikenainya. Sungguhnya hatinya merasa kagum dengan perbuatannya. Lalu Allah menenggelamkan orang tersebut ke bumi. Maka ia akan terus-menerus berada di dalamnya hinga hari kiamat”. H.r. Ahmad dan Muslim
Sungguh kita telah ketahui, bahwa orang-orang jahiliyah memutuskan dan bertindak segala sesuatu tanpa memakai hukum Allah, demikian juga dalam hal berpakaian. Perempuan-perempuan pada jaman jahiliyah berpakaian sekehendak hati mereka sendiri, yang penting suka atau orang lain suka melihatnya. Ternyata hal itu pun masih dilakukan oleh mayoritas perempuan muslim jaman sekarang. Mereka berpakaian asal senang, bagus atau indah, tetapi tidak memperhatikan batas auratnya yang ditetapkan Allah, malah tidak sedikit yang merasa bangga memperlihatkan bahkan mempertontonkan aurat kepada yang bukan mahramnya. Ada juga yang memakai tutup kepala, tapi hanya disimpam di atas pundaknya atau di tarik sedikit ke atas hingga terlihat rambut bagian depan dan lehernya.
Setiap muslim wajib mengetahui, bahwa Allah swt. telah memerintahkan umat-Nya untuk menutup aurat. Setelah mengetahui, maka ia wajib melaksanakan perintah tersebut. Bila dilanggar, maka akan ada sangsi dari Allah. Dalam hadis diterangkan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَزَعَتْ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا هَتَكَتْ سِتْرَ مَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ رَبِّهَا. وفي لفظ "خَرَّقَ اللهُ عَنْهَا سِتْرًا. رواه أحمد
Dari Aisyah, ia berkata, ”Aku mendengar Rasululah saw. bersabda, ’Perempuan mana saja yang membuka baju bukan di rumah suaminya (memperlihatkan kepada yang bukan mahramnya), maka ia telah membuka aib antara dia dan Tuhannya”. Dan dalam lafad lain “Pasti Allah akan membukakan aibnya” . H.r. Ahmad
Perintah menutup aurat ini, tidak lain untuk menjaga keutamaan, kehormatan, dan menjaga dirinya dari kejahatan yang timbul akibat dari memperlihatkan aurat tersebut. Selain itu, orang senantiasa menutup auratnya karena mengharapkan rida dan maghfirah-Nya akan mendapat derajat yang sangat mulia di hadapan Allah swt.

Arti Aurat
Kata aurat mempunyai dua arti yaitu, pertama; berarti bagian tubuh manusia yang malu bila dilihat orang lain. Kedua; berarti kelemahan, tidak ada kemampuan bertahan atau membela diri bila di serang. Misalnya dalam Alquran surat Al-Ahzab ayat 13 diterangkanإن بيوتناعورة “Sesungguhnya rumah kami beraurat”, artinya tidak sanggup menahan bahaya maling sebab pintu dan dindingnya gampang dibongkar orang. (Ar-Raghib Al-Asfahani 365)
Oleh karena itu, dengan dua arti tersebut K.H.E. Abdurahman mengatakan, ”Aurat itu memberi isyarat akan adanya sesuatu yang berharga, menarik dan mengundang nafsu orang untuk mengganggunya. Oleh karena itu, bila pertahanan yang melindunginya tidak kuat (penutup aurat), tentulah simpanan yang berharga itu mudah dicuri atau dirampas orang”. (Risalah kecil, tahun 1969)

Hukum Menutup Aurat dan Memperlihatkannya
Dalam AlQuran surat An-Nur:31 di atas diterangkan dengan tegas dan jelas, bahwa menutup aurat itu wajib hukumnya dan haram memperlihatkannya. Demikian juga dalam hadis Nabi saw. Beliau bersabda kepada kakek Bahz bin Hakim:
احفظ عورتك إلا من زوجتك أو ما ملكت يمينك. قلت : فإذا كان القوم بعضهم في بعض؟ قال : إن استطعت أن لا يراها أحد فلا يرينها. قلت : فإذا كان أحدنا خاليا؟ قال : فالله أحق أن يستحيى منه. رواه الخمسة إلا النسائي
“Jagalah auratmu kecuali kepada istrimu dan hambamu” Aku berkata, (bagaimana) kalau kaum itu, sebagiannya bercampur dengan sebagian yanmg lain? Nabi menjawab, ’Kalau engkau mampu seorangpun tidak melihatnya, maka janganlah kamu sekali-kali memperlihatkannya’. Aku bertanya, ’Bagaimana kalau salah seorang dari kami sendirian? Nabi menjawab, ’Maka Allah lebih berhak (kamu) malu kepada-Nya.” HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasai
عن ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالتَّعَرِّيَ فَإِنَّ مَعَكُمْ مَنْ لاَ يُفَارِقُكُمْ إِلاَّ عِنْدَ الْغَائِطِ وَحِينَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى أَهْلِهِ فَاسْتَحْيُوهُمْ وَأَكْرِمُوهُمْ. رواه الترمذي
Dari Ibnu umar, ia berkata, ”Bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda, ’Janganlah kamu membuka auratmu, karena sesungguhnya bersamamu ada orang-orang yang tidak dapat berpisah denganmu, melainkan ketika buang hajat dan ketika seseorang mendatangi isterinya, malulah dan hormatilah mereka.” H.r. At-Tirmidzi

Batas Aurat Wanita
Kaum wanita memiliki daya tarik yang sangat kuat. Setiap jengkal dari anggota tubuhnya, mulai dari rambut hingga ujung kakinya, memiliki daya tarik bagi kaum pria. Itulah sebabnya kaum wanita diperintahkan untuk menutup seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan, seperti diterangkan :
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَمِنْهَا, وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُورِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
…Dan janganlah mereka (kaum mukminat) menampakkan perhiasaanya melainkan yang biasa nampak daripadanya, dan hendaklah mereka menutupi dada-dada mereka…An;Nur : 31
Yang dimaksud “ma zhahara minha” dalam hadis diterangkan:
عن أم سلمة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يرى منها إلا هذا وهذا, وأشار إلى وجهه وكفيه. رواه أبو داود
Dari Ummu Salamah, ia berkata, ”Rasulullah saw. bersabda, ’Sesungguhnya perempuan itu apabila telah mengalami haid tidak boleh terlihat daripadanya melainkan ini dan ini, beliau berisyasat kepada wajah dan kedua telapak tangannya.” H.r. Abu daud
Selain itu, ada keterangan lain yang menguatkan bahwa hanya telapak tangan dan wajahlah yang bukan aurat.
عَنْ مُحَمَّدٍ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ : فَلاَ تُصَلِّيَنَّ جَارِيَةٌ مِنْهُنَّ وَقَدْ حَاضَتْ إِلاَّ وَعَلَيْهَا خِمَارٌ. رواه أحمد
Dari Muhammad, ia berkata, ’Bahwa Aiysah berkata, ”Maka janganlah hamba sahaya perempuan di antara kamu melakukan salat padahal sudah mengalami haid kecuali memakai khimar (tutup kepala).” H.r. Ahmad
اَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ سَأَلَتِ النَّبِيَّ : أَتُصلِّى المَرْأَةُ فِي دِرْعٍ وَخِمَارٍ وَلَيْسَ عَلَيْهَا إِزَارٌ؟ قَالَ : إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّى ظَهْرَ قَدَمَيْهَا. رواه أبو داود
“Sesungguhnya Ummu Salamah bertanya kepada Nabi “Bolehkah seorang wanita shalat dengan mengenakan baju kurung dan khimar (kain penutup kepala) dan tidak memakai izar (kain sejenis sarung)? Nabi menjawab, ‘(Boleh) bila keadaaan baju kurung itu menutupi kedua kakinya.” H.r. Abu Daud
Menutup aurat bagi wanita, bukan hanya sekedar memakai baju atau pakaian saja, melainkan harus diperhatikan layak dan tidaknya pakaian tersebut, seperti memakai pakaian yang tipis hingga terlihat bentuk tubuh atau pakaian yang ketat hingga membentuk lekuk tubuh. Sebab cara berpakaian seperti itu dilarang oleh islam, siapapun yang melanggarnya akan mendapatkan sangsi. Sehubungan dengan masalah tersebut, Rasulullah saw bersabda :
يَارُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُنْيَا عَارِيَةٌ فِي الاَخِرَةِ. رواه اليخاري
‘Perhatikanlah! Tidak sedikit yang berpakaian di dunia, (tetapi mereka) telanjang di akhiratnya”. HR. Al-Bukhari
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam syarah Al-Bukhari, yakni Fatul Bari menerangkan: Yang dimaksud hadis tersebut ada dua pengertian, pertama ialah:
كَا سِيَةٌ فِي الدُنْيَا بِالثِيَابِ لِوُجُوْدِ الْغِنَى عَارِيَةٌ فِي اْلاَخِرَةِ مِنَ الثَوَابِ لِعَدَمِ اْلعَمَلِ فِي الدُّنْيَا
“Berpakaian di dunia dengan pakaian (yang lengkap) disebabkan adanya kemampuan, tetapi telanjang di akhirat dari ganjaran (tidak mendapat kebaikan) disebabkan tidak ada amal sholeh di dunianya”.
Sedangkan pengertian yang kedua ialah
كَا سِيَةٌ بِالثِّيَابِ لَكِنَّهَا شَفَفَةُ لاَ تَسْتُرُ عَوْرَتَهَا فَتَعَاقَبَ فِي الاَخِرَةِ بِالْعُرَى جَزَاءً ذَلَكَ
“Berpakaian dengan macam-macam baju tetapi pakaiannya membayang (sehingga) tidak menutup auratnya, maka dia disiksa di akhirat dengan telanjang (kehinaan) sebagai balasannya.”
Maksud tersebut diperkuat dengan hadis Rasulullah yang melarang seorang perempuan memakai pakaian yang tipis hingga terlihat lekuk tubuhnya.
أَنَّ اَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِى بَكرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم عليها ثِيَا بٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللهِ
“Bahwasanya Asma binti Abu Bakar menemui Rasulullah saw. dengan memakai pakaian yang tipis. Lalu Rasulullah berpaling daripadanya……” HR. Abu Daud

Perempuan Memakai Wewangian
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ: لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ. رواه أحمد وأبو داود
Dari Abu Hurairah, Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,”Janganlah kamu menghalangi isteri-isterimu (pergi) ke mesjid-mesjid Allah, akan tetapi hendaklah mereka keluar itu dengan tidak memakai wewangian”. H.r. Ahmad dan Abu Daud
عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللهِ قَالَتْ: قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيبًا. رواه مسلم
Dari Zaenab isteri Abdullah, ia berkata,”Rasulullah saw. pernah bersabda kepada kami,’Apabila salah seorang di antara kamu pergi ke mesjid, maka janganlah memakai wewangian”. H.r. Muslim

Wanita di hadapan Banci
Imam Al-Bukhari, muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari Aisah dan Ummu Salamah, keduanya mengatakan:
أن مُخَنَّثًا كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أَهْلِ رَسُولِ اللهِ ص وكَانُوا يَعُدُّونَهُ مِنْ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ. فَدَخَلَ النَّبِيُّ ص عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ وَعِنْدَهَا هذَا الْمُخَنَّثُ وَعِنْدَهَا أَخُوهَا (عَبْدُ اللهِ بْنُ أُمَيَّةَ) فَالْمُخَنَّثُ يَقُولُ: يَا عَبْدَ اللهِ! إِنْ فَتَحَ اللهُ عَلَيْكَ الطَّائِفَ فَعَلَيْكَ بِابْنَةِ غَيْلاَنَ فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ.فَسَمِعَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا عَدُوَّ اللهِ! لَقَدْ غَلْغَلْتَ النَّظَرَ فِيهَا. ثُمَّ قَالَ ِلأُمِّ سَلَمَةَ: لاَ يَدْخُلَنَّ هذا عَلَيْكِ
Bahwasanya seorang banci (laki-laki yang menyerupai perempuan) selalu masuk kepada keluarga Rasulullah saw (isteri-isterinya). Mereka menganggapnya seorang yang tidak mempunyai keinginan kepada wanita (Ulul Irbah). Lalu Nabi saw. masuk ke rumah Ummu Salamah, yang ketika itu ada seorang banci dan saudaranya (Abdullah bin umayyah.) Pada saat itu si banci sedang berkata kepada Abdullah,’hai Abdullah! Jika Allah menakdirkan kamu masuk kota Thaif, hendaklah kamu mengambil puteri Ghailan, karena sesungguhnya perempuan itu dapat menjamin kamu (berhubungan) dari muka empat kali dan dari belakang empat kali. Mendengar perkataan itu, Rasulullah bersabda,”Hai Musuh Allah! Sungguh enkau telah mengetahui dengan sedalam-dalam tentang perempuan itu. Kemudian beliau bersabda kepada Ummu Salamah,’Janganlah sekali-kali orang ini masuk ke (rumah)mu”.

Perempuan Muslim di hadapan Non Muslim
قَالَ عُبَادَةُ بْنُ نُسَيٍّ: كَتَبَ عُمَرَ إِلَى أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَاحِ أَنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّ نِسَاءَ أَهْلِ الذِّمَّةِ يَدْخُلْنَ الْحَمَامَاتِ مَعَ نِسَاءِ الْمُسْلِمِينَ فَامْنَعْ مِنْ ذلِكَ وَحَلَّ دُوْنَهُ فَإِنَّهُ لاَيَجُوزُ أَنْ تَرَى الذِّمِّيَّةُ عِرْيَةَ الْمُسْلِمَةِ. تفسير الصابوني و القرطبي
Ubadah bin Nusayy berkata,”Umar telah menulis surat kepada Abu Ubaidah bin Al-Jarah, bahwa perempuan-perempuan Ahludz-Dzimmah (kafir yang ada perlindungan Islam) masuk ke tempat mandi bersama perempuan-perempuan muslimah! Cegahlah mereka agar tidak berbuat seperti itu dan halal selain itu., karena sesungguhnya perempuan kafir tidak boleh melihat aurat perempuan muslimah. Tafsir Ash-Shobunu, II:161 dan Al-Qurthubi, XII:233

Perempuan Safar
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ؟ فَقَالَ: اُخْرُجْ مَعَهَا. رواه البخاري ومسلم
Dari Ibnu Abbas, ia berkata,”Nabi saw. bersabda,’Janganlah perempuan safar kecuali bersama mahromnya, dan tidak boleh seorang laki-laki menemuinya kecuali bersama perempuan ada mahromnya. Seseorang bertanya,’Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku hendak pergi berperang anu dan perang anu sedang isteriku akan ibadah haji? Maka beliau menjawab,’Pergilah kamu (beribadah haji) bersama isterimu”. H.r Al-Bukhari dan Muslim

Perempuan Memakai Cemara
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: زَجَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ تَصِلَ الْمَرْأَةُ بِرَأْسِهَا شَيْئًا. رواه مسلم
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata”NAbi saw. melarang perempuan menyambung sesuatu pada rambutnya”. H.r. Muslim
قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ: قَدِمَ مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ الْمَدِينَةَ ...فَخَطَبَنَا فَأَخْرَجَ كُبَّةً مِنْ شَعَرٍ فَقَالَ: مَا كُنْتُ أُرَى أَنَّ أَحَدًا يَفْعَلُ هَذَا غَيْرَ الْيَهُودِ. وَإِنَّ النَّبِيَّسَمَّاهُ الزُّورَ يَعْنِي الْوِصَالَ فِي الشَّعَرِ. رواه البخاري ومسلم
Said bin Al-Musayyab berkata,”Muawiyah bin Abu Sufyan pernah datang ke Madinah...Lalu ia mengkhutbahi kami terus mengeluarkan secekak rambut, seraya berkata,’Aku tidak pernah melihat seorang yang berbuat seperti ini (memakai cemara) selain Yahudi. Sesungguhnya NAbi saw. menamai pamakainya itu az-zur (pemalsu/penipu), yaitu perempuan yang menyambung sesuatu pada rambutnya”. H.r . Al-Bukhari dan Muslim
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ جَارِيَةً مِنَ اْلأَنْصَارِ تَزَوَّجَتْ وَأَنَّهَا مَرِضَتْ فَتَمَعَّطَ شَعَرُهَا فَأَرَادُوا أَنْ يَصِلُوهَا فَسَأَلُوا النَّبِيَّ فَقَالَ: لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ. رواه البخاري
Dari Aisah,”Bahwasanya seorang perempuan Anshar telah menikah, sedang ia sakit lalu rambutnya rontok. Kemudian keluarganya hendak menyambungnya, tapi mereka bertanya dahulu kepada NAbi saw. beliau bersabda,’Allah melaknat perempuan yang menyambung rambutnya dan perempuan yang minta disambung rambutnya”. H.r. Al-Bukhari

Perempuan Memakai Tato, Menggunduli Rambut, Mencukur habis Alis dan Mengikir Gigi
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ. رواه البخاري
Dari Ibnu Umar,”Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,’Allah melaknat perempuan yang menyambung rambut dan yang minta disambung, perempuan yang bertato dan minta ditato”. Al-Bukhari
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ أَنْ تَحْلِقَ الْمَرْأَةُ رَأْسَهَا. رواه النسائي والترمذي
Dari Ali, ia berkata,”Rasulullah saw. melarang perempuan mencukur habis rambutnya”. H.r. An-Nasai dan At-Tirmidzi
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ :...سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ النَّامِصَةِ وَالْوَاشِرَةِ...رواه أحمد ومسلم
Dari Ibnu Masud, ia berkata,’...Aku mendengar Rasulullah saw. melarang perempuan yang mencukur habis alis dan mengikir gigi”. H.r. Ahmad dan Muslim

Selasa, 10 Februari 2009

MENYIKAPI FATWA HARAM GOLPUT


Pengantar
Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI baru-baru ini mengenai diharamkannya “golput” menuai berbagai reaksi. Ada yang pro dan ada yang kontra. Sebagai pemilih pemula, tentu (saya dalam hal ini) cukup bingung untuk menentukan sikap. Apakah saya harus ikut-ikutan pro atau bahkan kontra terhadap situasi ini. Tapi saya juga tahu, sikap yang hanya membebek alias ikut-ikutan bukanlah sikap seorang muslim. Karena seorang muslim itu dalam memutuskan dan melakukan sesuatu harus berdasarkan ilmu, bukan sekedar ikut-ikutan (taklid). Sekarang coba kita telusuri mengapa kontroversi ini bisa terjadi.

Yang Kontra, Yang Kecewa
Sebagian dari mereka yang tidak setuju dengan fatwa haram golput beralasan bahwa tak ada gunanya mereka memilih wakil rakyat. Karena, selama ini mereka kecewa dengan wakil rakyat yang telah mereka pilih pada pemilu lalu. Mereka kecewa karena sampai saat ini janji-janji para wakil rakyat tak kunjung terpenuhi. Janji peningkatan kesejahteraan seolah hilang seiring dengan didudukinya kursi-kursi parlemen itu. Iklan-iklan partai yang menggambarkan keberhasilan dalam peningkatan kesejahteraan rakyat akhir-akhir ini hanyalah omong kosong belaka. Bahkan iklan-iklan tersebut membuat “para barisan sakit hati” meyakinkan dirinya untuk golput. Rasa kecewa ini cukup beralasan, hal ini memang fakta. Dari pemilu lalu sampai menjelang pemilu beberapa bulan kedepan, rakyat miskin tetap miskin, bayi busung lapar semakin banyak, anak gizi buruk tak sedikit. Inilah golongan pertama yang kontra terhadap fatwa tersebut.

Yang Kontra, Ingin Mengubah Sistem
Sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia adalah sistem Demokrasi. Menurut sebagian kalangan menilai bahwa sistem yanmg ada saat ini tidak mampu menyelesaikan berbagai permasalahan di Indonesia. Nyata, sistem yang dianggap paling sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia tidak mampu mengarahkan Indonesia ke arah yang lebih baik. Kini, semakin banyak kaum intelektual yang mulai mempelajari sistem syariat Islam dan mulai menyadari bahwa sudah saatnya sistem yang ada saat ini diganti dengan sistem yang paling baik, yakni Sistem berdasarkan syariat Islam.
Tidak banyak partai yang menawarkan penegakan syariat Islam sebagai tujuannya. Kalaupun ada, tetap saja ketika mereka berada di parlemen mereka ikut tergusur dengan arus demokrasi yang begitu besar. Jadi? Sama saja, tak ada artinya memilih (walaupun memilih partai yang berasaskan syariat Islam), jika terlalu banyak yang mendukung “sistem yang buruk”, maka yang baik pun akan terbawa arus. Inilah golongan kedua yang kontra dengan fatwa tersebut.

Perbaikan Bangsa Tanggung Jawab Semua
Ajang pemilu adalah sebuah upaya perbaikan nasib bangsa. Ada harapan ketika pemilu tiba, akan hadir sosok pilihan yang dapat mengubah nasib bangsa menjadi lebih baik. Rugi rasanya jika pesta demokrasi yang menghabiskan dana yang tak sedikit dihadapi dengan golput. Setidaknya, diantara sekian banyak pilihan, kita dapat memilih salah satu “yang terbaik diantara yang terburuk”. Dan tertanam sebuah harapan bahwa “dia” yang dipilih adalah yang terbaik yang mampu melangkahkan Indonesia sedikit ke arah yang lebih baik.inilah ulasan dari merekayang pro terhadap fatwa ini selain juga dari mereka yang memiliki kepentingan dengan dikeluarkannya fatwa ini.

Saya, Pemilih Pemula, Mau Bagaimana?
Sedikit yang saya tahu selama ini bahwa memilih dan dipilih dalam negara ini merupakan hak warga negara. Menurut saya, sesuatu yang dikatakan hak adalah apa yang harus dipenuhi pihak lain kepada pihak yang memiliki hak. Dalam hal ini, bila pihak yang berkewajiban memenuhi hak telah menyelesaikan kewajibannya, maka keputusan akan dikembalikan kepada pihak yang memiliki hak apakah hak itu akan ia ambil atau bahkan tidak diambilnya sama sekali. Kembali pada pernyataan awal tadi bahwa memilih dan dipilih adalah hak warga negara, artinya adalah hak warga negara juga ia mau memilih atau bahkan tidak mau memilih dalam pemilu, seperti halnya juga hak untuk dipilih, setiap warga negara berhak mencalonkan dirinya untuk dipilih atau bahkan tidak dipilih dan tidak ada pemaksaan untuk setiap warga negara mencalonkan dirinya untuk dipilih.
Berfikirlah bijak! Saya tahu bahwa mereka yang telah mengeluarkan fatwa tersebut bukanlah orang biasa. Mereka adalah orang-orang yang berilmu yang juga sudah memikirkan keputusan ini secara matang. Pasti ada alasan kuat yang melatarbelakangi dikeluarkannya keputusan ini.
Terjadi kontroversi merupakan hal yang wajar. Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai macam ras, suku, budaya, dsb. Beda kepala, beda isinya. Tapi yang harus difahami adalah dalam menyikapi berbagai kontroversi yang terjadi haruslah dihadapi dengan pemikiran yang rasional berdasarkan rujukan-rujukan yang benar serta sikap yang bijak.
Menurut saya, apapun keputusan yang diambil oleh masing-masing kepala hendaklah keputusan itu merupakan keputusan yang dibuat bukan karena ikut-ikutan, tapi berdasarkan pemikiran yang matang yang dilandasi olah rujukan-rujukan syar’I dan yang paling penting bahwa keputusan itu dibuat setelah kita memohon petunjuk Allah melalui do’a dan shalat istikhoroh agar kita tak salah melangkah.

Penutup
Hanya coretan inilah yang bisa saya sampaikan. Hanya berbekal sedikit kemauan dan sedikit pengetahuan serta informasi, saya bisa menyampaikan kata hati saya ini. Terlalu banyak kekurangan dalam coretan ini, semoga Allah mengampuninya dan para pembaca memakluminya.

Semoga Allah meridhoi apapun langkah kita untuk meraih ilmu Nya…

Wallahu ‘alam…..