Selasa, 10 Februari 2009

MENYIKAPI FATWA HARAM GOLPUT


Pengantar
Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI baru-baru ini mengenai diharamkannya “golput” menuai berbagai reaksi. Ada yang pro dan ada yang kontra. Sebagai pemilih pemula, tentu (saya dalam hal ini) cukup bingung untuk menentukan sikap. Apakah saya harus ikut-ikutan pro atau bahkan kontra terhadap situasi ini. Tapi saya juga tahu, sikap yang hanya membebek alias ikut-ikutan bukanlah sikap seorang muslim. Karena seorang muslim itu dalam memutuskan dan melakukan sesuatu harus berdasarkan ilmu, bukan sekedar ikut-ikutan (taklid). Sekarang coba kita telusuri mengapa kontroversi ini bisa terjadi.

Yang Kontra, Yang Kecewa
Sebagian dari mereka yang tidak setuju dengan fatwa haram golput beralasan bahwa tak ada gunanya mereka memilih wakil rakyat. Karena, selama ini mereka kecewa dengan wakil rakyat yang telah mereka pilih pada pemilu lalu. Mereka kecewa karena sampai saat ini janji-janji para wakil rakyat tak kunjung terpenuhi. Janji peningkatan kesejahteraan seolah hilang seiring dengan didudukinya kursi-kursi parlemen itu. Iklan-iklan partai yang menggambarkan keberhasilan dalam peningkatan kesejahteraan rakyat akhir-akhir ini hanyalah omong kosong belaka. Bahkan iklan-iklan tersebut membuat “para barisan sakit hati” meyakinkan dirinya untuk golput. Rasa kecewa ini cukup beralasan, hal ini memang fakta. Dari pemilu lalu sampai menjelang pemilu beberapa bulan kedepan, rakyat miskin tetap miskin, bayi busung lapar semakin banyak, anak gizi buruk tak sedikit. Inilah golongan pertama yang kontra terhadap fatwa tersebut.

Yang Kontra, Ingin Mengubah Sistem
Sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia adalah sistem Demokrasi. Menurut sebagian kalangan menilai bahwa sistem yanmg ada saat ini tidak mampu menyelesaikan berbagai permasalahan di Indonesia. Nyata, sistem yang dianggap paling sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia tidak mampu mengarahkan Indonesia ke arah yang lebih baik. Kini, semakin banyak kaum intelektual yang mulai mempelajari sistem syariat Islam dan mulai menyadari bahwa sudah saatnya sistem yang ada saat ini diganti dengan sistem yang paling baik, yakni Sistem berdasarkan syariat Islam.
Tidak banyak partai yang menawarkan penegakan syariat Islam sebagai tujuannya. Kalaupun ada, tetap saja ketika mereka berada di parlemen mereka ikut tergusur dengan arus demokrasi yang begitu besar. Jadi? Sama saja, tak ada artinya memilih (walaupun memilih partai yang berasaskan syariat Islam), jika terlalu banyak yang mendukung “sistem yang buruk”, maka yang baik pun akan terbawa arus. Inilah golongan kedua yang kontra dengan fatwa tersebut.

Perbaikan Bangsa Tanggung Jawab Semua
Ajang pemilu adalah sebuah upaya perbaikan nasib bangsa. Ada harapan ketika pemilu tiba, akan hadir sosok pilihan yang dapat mengubah nasib bangsa menjadi lebih baik. Rugi rasanya jika pesta demokrasi yang menghabiskan dana yang tak sedikit dihadapi dengan golput. Setidaknya, diantara sekian banyak pilihan, kita dapat memilih salah satu “yang terbaik diantara yang terburuk”. Dan tertanam sebuah harapan bahwa “dia” yang dipilih adalah yang terbaik yang mampu melangkahkan Indonesia sedikit ke arah yang lebih baik.inilah ulasan dari merekayang pro terhadap fatwa ini selain juga dari mereka yang memiliki kepentingan dengan dikeluarkannya fatwa ini.

Saya, Pemilih Pemula, Mau Bagaimana?
Sedikit yang saya tahu selama ini bahwa memilih dan dipilih dalam negara ini merupakan hak warga negara. Menurut saya, sesuatu yang dikatakan hak adalah apa yang harus dipenuhi pihak lain kepada pihak yang memiliki hak. Dalam hal ini, bila pihak yang berkewajiban memenuhi hak telah menyelesaikan kewajibannya, maka keputusan akan dikembalikan kepada pihak yang memiliki hak apakah hak itu akan ia ambil atau bahkan tidak diambilnya sama sekali. Kembali pada pernyataan awal tadi bahwa memilih dan dipilih adalah hak warga negara, artinya adalah hak warga negara juga ia mau memilih atau bahkan tidak mau memilih dalam pemilu, seperti halnya juga hak untuk dipilih, setiap warga negara berhak mencalonkan dirinya untuk dipilih atau bahkan tidak dipilih dan tidak ada pemaksaan untuk setiap warga negara mencalonkan dirinya untuk dipilih.
Berfikirlah bijak! Saya tahu bahwa mereka yang telah mengeluarkan fatwa tersebut bukanlah orang biasa. Mereka adalah orang-orang yang berilmu yang juga sudah memikirkan keputusan ini secara matang. Pasti ada alasan kuat yang melatarbelakangi dikeluarkannya keputusan ini.
Terjadi kontroversi merupakan hal yang wajar. Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai macam ras, suku, budaya, dsb. Beda kepala, beda isinya. Tapi yang harus difahami adalah dalam menyikapi berbagai kontroversi yang terjadi haruslah dihadapi dengan pemikiran yang rasional berdasarkan rujukan-rujukan yang benar serta sikap yang bijak.
Menurut saya, apapun keputusan yang diambil oleh masing-masing kepala hendaklah keputusan itu merupakan keputusan yang dibuat bukan karena ikut-ikutan, tapi berdasarkan pemikiran yang matang yang dilandasi olah rujukan-rujukan syar’I dan yang paling penting bahwa keputusan itu dibuat setelah kita memohon petunjuk Allah melalui do’a dan shalat istikhoroh agar kita tak salah melangkah.

Penutup
Hanya coretan inilah yang bisa saya sampaikan. Hanya berbekal sedikit kemauan dan sedikit pengetahuan serta informasi, saya bisa menyampaikan kata hati saya ini. Terlalu banyak kekurangan dalam coretan ini, semoga Allah mengampuninya dan para pembaca memakluminya.

Semoga Allah meridhoi apapun langkah kita untuk meraih ilmu Nya…

Wallahu ‘alam…..