Jumat, 06 Maret 2009

MADZHAB

Sungguh menuntut ilmu Syari’at dan berdakwah adalah termasuk dari amar-ma’ruf dan nahi-mungkar. Yang mana Allah telah menjadikan kebaikan bagi umat ini apabila mereka mau menegakkannya, sebagai mana firman Allah :
Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Al Imron 110

Isi tulisan ini membahas satu aspek penting untuk meluruskan paradigma dari penyebab kelemahan dan perbedaan yang terjadi dikalangan umat. Dikarenakan tidak rapatnya sebuah barisan merupakan salah satu penyebab datangnya perbedaan. Dan mungkin sekarang ini saya –mungkin juga yang lainnya- telah melihat bahwa dibawah debu telah terdapat percikan api.

Pengertian Madzhab
Asal makna madzhab ialah berjalan, aliran. Dalam istilah Islam, dipakai dengan arti pendapat, paham, atau aliran seorang alim besar dalam Islam yang digelari Imam, seperti madzhab Imam Hanafi, madzhab Imam Maliki, madzhab Imam Syafi’I, madzhab Imam Hanbali, dan lain-lainnya, tetapi yang masyhur ialah empat imam tersebut. Madzhab menurut ahli fikih ada dua: Pertama, mengikuti sesuatu yang dipercaya seperti perkataan: “sifulan mengikuti madzhab sifulan”. Kedua, tempat perjalanan yang diikuti atau yang dituju. Dalam pengertian ini dapat pula dimaksudkan yaitu dasar pendirian yang diikuti, misalnya perkataan Imam Syafi’I: “Apabila telah sah hadis, maka itulah madzhabku.” Hal senada diungkaplan pula oleh Imam Syafi’I kepada Imam Ahmad bin Hanbal: “Apabila telah nyata hadis itu shahih disisi kamu, maka katakanlah kepadaku agar aku dapat menuju (mengikuti) kepadanya (hadis).”
Kata madzhab pun terkadang diartikan sebagai tempat buang air. Dijelaskan dalam sebuah riwayat:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم إِذَا ذَهَبَ الْمَذْهَبَ أَبْعَدَ قَالَ ذَهَبَ لِحَاجَتِهِ
"Rasulullah saw. jika pergi ke madzhab, beliau menjauh. (Menurut Rawi): Maka beliau pergi untuk hajatnya."

Sebab Terjadinya Madzhab
Setelah Nabi saw.. wafat, sebagian dari para shahabatnya pergi kebeberapa wilayah atau negeri dengan maksud untuk menyiarkan agama Islam, atau untuk keperluan lainnya. Istilah madzhab pada masa Nabi saw.. dan para shahabatnya tidak dikenal sama sekali. Istilah madzhab ini kemudian muncul setelah mereka tiada. Padahal pada masa para shahabat tradisi berijtihad sudah berkembang, Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib adalah diantara tokoh shahabat yang kerapkali berijtihad. Namun belum pernah diantara mereka mengatakan agar mengikuti madzhabnya atau madzhab tertentu. Padahal Nabi saw. pernah berpesan dalam riwayat Ahmad dan At-Tirmidzi: “Ikutilah olehmu dimasa kemudian setelahku nanti pada dua orang yaitu Abu Bakar dan Umar”. Lebih tegas lagi Nabi saw. bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّتِى الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمُهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ
"Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnahnya khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk dimasa setelahku." H.R. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah
Setelah mereka lahirlah generasi mujtahidin (ahli ijtihad) yang hidup sekitar abad II dan III yang kemudian nanti akan dijadikan oleh para pengikutnya masing-masing sebagai Imam madzhab. Mereka adalah madzhab-madzhab sekitar dunia fikih bukan aqidah (karena perbedaan dalam aqidah adalah bencana). Nama mereka cukup terkenal diantaranya:
a.Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir di Kuffah dan wafat di Baghdad.
b.Imam Malik bin Anas (93-179 H) lahir di Madinah dan wafat di Madinah pula.
c.Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I (150-204 H) lahir di Mekkah dan wafat di Mesir.
d.Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H) lahir di Baghdad dan wafat di Baghdad pula.
e.Imam Al-Laits bin Sa’ad (94-175 H) lahir di Mesir.
f.Imam Abdurrahman Al-Auza’I (88-157 H) lahir di Syam.
g.Imam Dawud bin Ali Adh-Dhahiri (202-270 H) lahir di Kuffah.
h.Imam ibnu Jarir Ath-Thabari (224-310 H) lahir di Thabaristan.
Para tabi’in yang tinggal di wilayah yang berbeda-beda yang telah menerima hadis dari para shahabat tersebut, mereka menyampaikannya pula kepada tabi’in-tabi’in yang tinggal diwilayah yang berbeda pula. Imam yang empat yaitu Syafi’I, Maliki, Hanafi, dan Hanbali adalah golongan tabi’in dan tabi’ut-tabi’in, tempat tinggal mereka berbeda-beda, ada yang di Hijaz, di Syam, di Kufah, di Mesir dan tempat lainnya.
Dengan demikian hadis yang sampai kepada Imam Maliki belum tentu sampai kepada Imam Hanafi, begitu pula sebaliknya. Hadis yang sampai kepada Imam-imam tersebut juga belum tentu sampai kepada Imam Syafi’I atau Imam Hanbali. Pada masa mereka itu belum ada percetakan, bahkan belum terdapat kertas yang cukup untuk penyiaran. Oleh karena itu masing-masing Imam hanya bisa mencatat hadis-hadis yang sampai kepadanya, dan dia beramal serta berfatwa dengan hadis-hadis yang diterimanya saja. Oleh sebab itulah timbulnya perselisihan pendapat antara imam-imam dalam beberapa masalah. Disamping itu tiap-tiap Imam tidak mendapatkan hadis-hadis yang cukup, maka timbul pula perselisihan tentang memahami ayat-ayat Quran yang perlu pada penerangan hadis.
Begitu pula murid-murid dan pengikut-pengikut imam-imam tersebut bertebaran ke beberapa negeri untuk mengajarkan agama. Masing-masing tentulah menganjurkan pendapat atau madzhab imam atau gurunya.
Oleh karena itu penduduk negara-negara Islam menganut beberapa madzhab. Afganistan, Turki, sebagian dari Mesir, Cina bermadzhab Hanafi; Indonesia, Malaysia, Philipina, Hijaz sebagian Mesir bermadzhab Syafi’I; Maroko dan beberapa negara Afrika bermadzhab Maliki; pengikut madzhab Hanbali terdapat di Asia kecil, dan merupakan madzhab yang paling sedikit pengikutnya. Palestina, Irak, Syam dan lain-lain yang berdekatan dengan negara tersebut menganut macam-macam madzhab.

Madzhab Bukan Empat
Sebenarnya, bila kita tinjau dari aspek historis madzhab-madzhab itu bukan hanya empat. Tapi diantaranya banyak yang sudah dianggap “madzhab ba’idah”, yakni madzhab yang telah hilang dari ingatan orang, atau telah lenyap sama sekali. Sedangkan madzhab yang empat itu mempunyai penganut dan pengaruh besar. Oleh karena itu orang hanya mengenal empat madzhab.
Dengan demikian ada beberapa faktor yang dapat mempertahankan eksistensi madzhab sehingga mampu mewarnai paradigma berfikir ulama-ulama setelahnya termasuk ulama abad sekarang. Faktor tersebut menurut Kiai Afif MA. (1991 : 59) diantaranya;
Pertama, imam-imam madzhab itu sendiri aktif menyebarkan pendapatnya secara langsung, disamping mereka membukukannya. Imam Syafi’i misalnya terkenal dengan Al-Umm yang berisikan kumpulan ijtihadnya tentang fikih dan Ar-Risalah tentang Ushul Fikih-nya. Imam Malik dengan Al-Muwatha’-nya demikian pula Imam Ahmad dengan Al-Musnad-nya.
Kedua, aktivitas murid-muridnya yang menyebarkan paham gurunya seperti Abu Yusuf yang mendapat julukan Qadhi Al-Qudhat dan Muhammad Hasan Asy-Syaibani yang cukup produktif mengembangkan paham Abu Hanifah, padahal Abu Hanifah sendiri tidak membukukannya. Namum yang harus jadi catatan adalah bahwa kesemua imam itu tidak pernah menganjurkan kepada murid-muridnya untuk bermadzhab atau bertaklid kepada pendapatnya.
Sementara faktor yang mengakibatkan madzhab-madzhab itu lenyap atau kurang eksis diantaranya adalah imam madzhab itu sendiri tidak sempat membukukannya hasil pemikiran ijtihadnya baik dalam bentuk buku maupun risalah. Atau murid-muridnya tidak terlalu aktif menyebarkan paham para gurunya setelah gurunya meninggal, sehingga paham gurunya berserakan di telan alam.

Kesepakatan Para Imam
Menurut catatan sejarah, dari semua Imam mujtahidin itu tidak ada seorangpun yang memproklamirkan diri sebagai Imam madzhab. Penyebutan Imam madzhab baru lahir kemudian setelah kewafatan mereka yang disebarkan oleh para pengikutnya masing-masing yang hidup pada abad IV. Lebih dari itu tidak ada satupun dari mereka yang menyatakan bahwa pahamnyalah yang paling benar atau memfatwakan agar fatwanya diikuti dan ditaklidi oleh kaum muslimin. Jadi munculnya istilah madzhab bukanlah keinginan dan rencana mereka. Justru mereka semua sangat jujur, rendah hati dan toleran dalam hal ijtihad.
Para Imam terutama keempat Imam yang terkenal dalam madzhab, kesemuanya telah seia-sekata dan tidak berselisih, bahwa timbangan untuk menetapkan “benar” atau “salah” atas sesuatu hokum yang beratasnamakan Islam itu mesti berdasarkan suatu dalil, argumentasi atau keterangan yang bersumber pada Qur’an dan Hadis Shahih.
Para Imam tidak rela, bila buah pikiran atau pendapat yang dipilih mereka dan kemudian ditetapkan atas hukum sesuatu itu, diikuti orang tanpa pengertian, hanya mengekor dan bertaklid saja kepada mereka. Mereka menerima fatwa tanpa mengetahui dasar-dasar pikiran serta sebab pengembalian ketetapan hukum dalam fatwanya itu. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan para Imam itu sendiri, diantaranya:
Imam Hanafi:
حَرَامُ عَلَى مَنْ لمَ ْيَعْرِفْ دَلِيْلِي أَنْ يُفْتِيَ بِكَلَامِيْ
"Haram bagi orang yang tidak tahu dalil yang kupakai untuk memberikan fatwa dengan ucapanku."
إِنْ كَانَ قَوْلِى يُخَالِفُ كِتَابَ اللهِ وَخَبَرَ رَسُوْلِ اللهِ فَاتْرُكُوا قَوْلِى
"Apabila ucapanku bertentangan dengan kitabullah (Al-quran) dan khabar Rasulullah (Sunnah), maka tinggalkanlah ucapanku."
هَذَا رَأْيُ النُّعْمَانِ بْنِ ثَابِتٍ وَهُوَ اَحْسَنُ مَا قَدَرْنَا عَلَيْهِ فَمَنْ جَاءَ بِاَحْسَنَ مِنْهُ فَهُوَ اَوْلَى بِالصَّوَابِ
"Ini adalah pendapat An-Nu'man bin Tsabit (pendapat) ini adalah pendapat yang terbaik diantara yang kupertimbangkan, (oleh karena itu), barang siapa yang datang membawa (keterangan) yang lebih baik darinya, maka itu lebih layak dinyatakan yang benar."
Imam Maliki:
إِنَّمَا اَنَا بَشَرٌ اُخْطِئُ وَاُصِيْبُ فَانْظُرُوْا فِى رَأْيِى فَكُلُّ مَا وَفَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَخُذُوْهُ وَكُلُّ مَالَمْ يُوَافِقِ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَاتْرُكُوْهُ
"Aku hanyalah seorang manusia biasa yang berbuat keliru dan (tidak mustahil) pula benar. Oleh karena itu periksalah pendapat-pendapatku! Apabila setiap (pendapatku) itu sesuai dengan Al-quran dan Sunnah, maka ambillah! Dan apabila setiap (pendapatku) itu tidak sesuai dengan Al-quran dan Sunnah, maka tinggalkanlah!"

Imam Syafi'i:
كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا خَبَرٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَاَنَا رَاجِعُ عَنْهَا فِى حَيَاتِى وَبَعْدَ مَمَاتِى
"Setiap masalah yang memiliki keterangan hadis shahih dari Rasulullah bertentangan dengan apa yang kukatakan, maka aku akan rujuk (kembali) pada hadis yang shahih itu, dan meninggalkan pendapatku itu selama hayatku dan sesudah matiku."
Imam Hanbali:
لَا تُقَلِّدْ دِيْنَكَ أَحَدًا مِنْ هؤُلَاءِ مَاجَاءَ مِنَ النَّبِيِّ وَأَصْحَابِهِ فَخُدُوْهُ
“Jangan engkau mengekor (bertaklid) dalam urusan agamamu kepada salah seorang di antara mereka. Apa-apa yang berasal dari Rasulullah dan para Shahabatnya, ambilah olehmu.”
Sekalipun kesepakatan itu telah dinyatakan oleh para Imam, akan tetapi masih juga timbul perbedaan di kalangan mereka. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor antara lain:
1.Untuk memperoleh sesuatu keterangan, pada masa para Imam tidak semudah seperti sekarang. Selain tempat para guru satu sama lain berjauhan letaknya, jumlah hadis-hadis yang diterima masing-masing guru kadang-kadang tidak sama.
2.Teknik grafika (mencetak) belum ada seperti sekarang. Adanya Qaul Qadim dan Qaul Jadid membuktikan bahwa keterangan itu berangsur-angsur diperoleh atau dalam urusan duniawi terjadi perubahan masyarakat.

Contoh Kasus
Imam Syafi’i pernah menyatakan bahwa apabila hadis yang di terima dari Ma’bad bin Nabatah dalam hal tidak batalnya wudlu jika mencium istri itu benar, maka beliau sendiri akan berpendapat demikian.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: لَوْ ثَبَتَ الْحَدِيْثُ مَعْبَدِ بْنِ نَبْطَةَ فِى الْقُبْلَةِ لَمْ أَرَفِيْهَا وَلَا فِى اللَّمْسِ الْوُضُوْءِ
Imam syafi’I berkata: “Jika benar hadis ma’bad bin Nabathah dalam hal mencium (istri) itu maka aku tidak akan berpendapat bahwa mencium dan menyentuh (istri) itu mesti berwudlu.”
Dalam hal lain beliau menegaskan:
لَوْ ثَبَتَ هذَا الْحَدِيْثُ لَا قُلْتُ بِهِ
“Bila hadis ini (yaitu hadis Wabisah yang mengatakan bahwa bermakmum sendirian di belakang shaf itu tidak sah), pasti aku berpendirian demikian.”
Imam Malik pernah berpendapat bolehnya shaum pada hari jum’at dikarenakan hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah melarang puasa pada hari Jum’at tidak sampai kepada beliau. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan sahabat Imam Malik sendiri yang bernama ad-Dawudi berkata:
لمَ ْيَبْلُغْ مَلِكًا هذَا الْحَدِيْثُ وَلَوْ بَلَغَهُ لَمْ يَخْتَلِفْهُ
“Hadis ini tidak sampai kepada Imam Malik, bila hadis tersebut sampai (diketahui) oleh beliau pasti beliau tidak akan berpendirian lain.”
Dari peristiwa itu nyatalah kepada kita, bahwa sebab terdapat perbedaan pendapat dalam masalah di atas, bukan sebab Imam Syafi’I atau Imam Maliki tidak berkehendak mengubah pendirian, tetapi belum menyelidiki atau meyakinkan sendiri keshahihan hadis termaksud. Bila ternyata hadis yang dipersoalkan itu ada apalagi shahih, maka pasti Imam Syafi’I dan Imam Maliki akan berpendapat demikian, dan itulah yang akan menjadi madzhab para Imam. Yakni, Imam Syafi’I akan menyatakan bahwa mencium atau bersentuhan kulit suami istri atau bersentuhan dengan perempuan secara umum, wudlunya tidak batal. Demikian juga Imam Ahmad akan berpendapat bahwa shaum pada hari jum’at merupakan shaum yang dilarang oleh Rasulullah.

Kesimpulan
Kita sama-sama maklum bahwa di antara undang-undang negara yang ditulis sesudah dimusyawarahkan dengan teliti, masih juga suka diperselisihkan dalam hal pemahamannya oleh hakim-hakim waktu menggunakannya. Oleh karena itu perselisihan diantara madzhab-madzhab tidak usah mengherankan atau membingungkan.
Sekarang, oleh sebab hadis-hadis telah terkumpul dan sudah disaring, maka kalau muslimin mau mengambil hukum-hukum agama, dari Quran dan hadis saja, Insya Allah tidak akan terdapat banyak perselisihan. Tidak usah dengan bermadzhab karena kalau ada yang lebih baik dari pada Nabi kenapa kita mengikuti Nabi?
1.Dalam Islam tidak ada khilafiyah, perbedaan paham. Sebab yang menjadi hakim bukan madzhab, Imam atau Ulama, tetapi semata-mata hanya Al-Qur’an dan Hadis Shahih. Hal ini sesuai dengan perkataan Imam Malik:
مَا الْحَقُّ إِلَّا وَاحِدٌ قَوْلَانِ مُخْتَلِفَانِ يَكُوْنَانِ صَوَاباً جَمِيْعًا؟ مَا الْحَقُّ وَالصَّوَابُ إِلَّا وَاحِدٌ
“Yang benar hanya satu, dua qaul yang bertolak belakang, apakah dua-duanya benar? Yang benar dan yang hak hanya satu.”
2.Para Imam, terutama yang empat, jelas tidak menghendaki adanya perbedaan dalam agama, mereka sepakat bahwa segala urusan harus dikembalikan pada Qur’an dan Hadis.
3.Tidak menjadi suatu keaiban bila ternyata pendapat yang semula dibatalkan, disebabkan terdapat keterangan atau hujjah yang lebih kuat. Berkencan dengan kesalahan itu seperti membasuh muka dengan air liur sedangkan berlari dari paham yang salah itu seperti membasuh air liur yang ada di muka.
4.Berani karena takut salah dan takut karena berani benar, itulah ciri muslim sejati.



Wallahu ‘Alamu bi Shawab