Aku...
Aku ini siapa?
terkadang merasa diri sempurna, ketika bercermin, terlalu banyak lubang dalam diri..
menutupnya dengan satu jari membiarkan yang lain terbuka sampai tak mampu tertutup dengan semua jemari ini..
lantas, apa yang bisa menutupnya??
kucoba menutupnya dengan kelebihan dari kain ku.. sebagian orang melihatnya telah tertutupi dengan indah.. namun, sebagiannya lagi melihatnya tetap berlubang dan berusaha untuk membantu menambalnya dengan amalan ikhlas nan sholih.. merekalah yang melihat diriku dengan ketulusan hati.. tak hanya melihatku dari luarnya saja.. adakah orang - orang seperti mereka untukku?
Rabu, 23 September 2009
Sabtu, 25 Juli 2009
terasanya hidup ketika maut menjemput
bismillah..
bergetar rasanya ketika aku mengetik tulisan ini.
segala perasaan tengah menggelayuti hatiku. TAKUT. mungkin perasaan inilah yang paling dominan ada di hatiku.
tangis kesedihan ku alami saat itu melihat sosok terbujur kaku, tak berdaya, tak punya kekuatan. dalam benakku, aku berfikir akulah nanti yang akan ada disana. saat diri ini tak berdaya lagi, jerit pun tak kan terdengar. apa yang akan ku hadapi nanti? suatu cahaya terangkah? atau kegelapan yang pekatkah?
aku menangis, dia yang terbujur kaku itu, baru saja kemarin ku temui dengan tak ada satupun firasat.
inilah kuasa Allah, tak ada seorang pun mengetahui rencanaNya.
aku takut...
takut jika aku dalam keadaan tak siap ketika izroil datang padaku..
takut jika terlalu banyak noda yang belum sempat terhapus oleh ku..
takut tak akan bertemu denganNya...
penyesalan...
ternyata, kehidupan di dunia ini akan terasa ketika maut telah menjemput..
ketika itu, hanya penyesalanlah yang ada...
Ya Allah...
ampuni segala dosa-dosa ku...
berikanlah hidup untukku mengumpulkan bekal untuk bertemu denganMu...
Ya Allah...
janganlah Engkau jadikan diri ini termasuk ke dalam golongan orang-orang yang menyesal...
bergetar rasanya ketika aku mengetik tulisan ini.
segala perasaan tengah menggelayuti hatiku. TAKUT. mungkin perasaan inilah yang paling dominan ada di hatiku.
tangis kesedihan ku alami saat itu melihat sosok terbujur kaku, tak berdaya, tak punya kekuatan. dalam benakku, aku berfikir akulah nanti yang akan ada disana. saat diri ini tak berdaya lagi, jerit pun tak kan terdengar. apa yang akan ku hadapi nanti? suatu cahaya terangkah? atau kegelapan yang pekatkah?
aku menangis, dia yang terbujur kaku itu, baru saja kemarin ku temui dengan tak ada satupun firasat.
inilah kuasa Allah, tak ada seorang pun mengetahui rencanaNya.
aku takut...
takut jika aku dalam keadaan tak siap ketika izroil datang padaku..
takut jika terlalu banyak noda yang belum sempat terhapus oleh ku..
takut tak akan bertemu denganNya...
penyesalan...
ternyata, kehidupan di dunia ini akan terasa ketika maut telah menjemput..
ketika itu, hanya penyesalanlah yang ada...
Ya Allah...
ampuni segala dosa-dosa ku...
berikanlah hidup untukku mengumpulkan bekal untuk bertemu denganMu...
Ya Allah...
janganlah Engkau jadikan diri ini termasuk ke dalam golongan orang-orang yang menyesal...
Sabtu, 11 April 2009
Malunya Aku...!!!
Bismillahirrohmannirrohim....
Subhanallah, Allah itu sayang sama aku...
Tadi pagi, aku buat suatu kesalahan yang aku bahkan orang lain anggap sebagai suatu hal yang sepele, sampai-sampai aku sendiri juga ga nyadar kalo itu adalah kesalahan.Buang sampah sembarangan,nah itu dia persoalannya..
Dan tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku. Aku juga bingung kenapa dia manggil aku. Ternyata dia menegurku dan menasihati agar aku tak mengulangi kesalahanku tadi...
duuuh, rasanya malu sekali ketika mendapat teguran dari hal yang sepele seperti itu...
rasanya pengen nangis disitu juga saking malu nya....
Tapi, aku juga jadi sadar kalo sebuah kesalahan sepele kalo gak diperbaiki malah bisa jadi kesalahan yang besar...
Alhamdulillah, akhirnya aku bisa memetik sebuah pelajaran yang kuanggap penting tapi mungkin bernilai sepele bagi sebagian orang...
Mulai kebaikan dengan hal-hal kecil dan tak meremehkannya adalah hal penting yang harus aku lakukan...
Subhanallah, Allah itu sayang sama aku...
Tadi pagi, aku buat suatu kesalahan yang aku bahkan orang lain anggap sebagai suatu hal yang sepele, sampai-sampai aku sendiri juga ga nyadar kalo itu adalah kesalahan.Buang sampah sembarangan,nah itu dia persoalannya..
Dan tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku. Aku juga bingung kenapa dia manggil aku. Ternyata dia menegurku dan menasihati agar aku tak mengulangi kesalahanku tadi...
duuuh, rasanya malu sekali ketika mendapat teguran dari hal yang sepele seperti itu...
rasanya pengen nangis disitu juga saking malu nya....
Tapi, aku juga jadi sadar kalo sebuah kesalahan sepele kalo gak diperbaiki malah bisa jadi kesalahan yang besar...
Alhamdulillah, akhirnya aku bisa memetik sebuah pelajaran yang kuanggap penting tapi mungkin bernilai sepele bagi sebagian orang...
Mulai kebaikan dengan hal-hal kecil dan tak meremehkannya adalah hal penting yang harus aku lakukan...
Jumat, 06 Maret 2009
MADZHAB
Sungguh menuntut ilmu Syari’at dan berdakwah adalah termasuk dari amar-ma’ruf dan nahi-mungkar. Yang mana Allah telah menjadikan kebaikan bagi umat ini apabila mereka mau menegakkannya, sebagai mana firman Allah :
Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Al Imron 110
Isi tulisan ini membahas satu aspek penting untuk meluruskan paradigma dari penyebab kelemahan dan perbedaan yang terjadi dikalangan umat. Dikarenakan tidak rapatnya sebuah barisan merupakan salah satu penyebab datangnya perbedaan. Dan mungkin sekarang ini saya –mungkin juga yang lainnya- telah melihat bahwa dibawah debu telah terdapat percikan api.
Pengertian Madzhab
Asal makna madzhab ialah berjalan, aliran. Dalam istilah Islam, dipakai dengan arti pendapat, paham, atau aliran seorang alim besar dalam Islam yang digelari Imam, seperti madzhab Imam Hanafi, madzhab Imam Maliki, madzhab Imam Syafi’I, madzhab Imam Hanbali, dan lain-lainnya, tetapi yang masyhur ialah empat imam tersebut. Madzhab menurut ahli fikih ada dua: Pertama, mengikuti sesuatu yang dipercaya seperti perkataan: “sifulan mengikuti madzhab sifulan”. Kedua, tempat perjalanan yang diikuti atau yang dituju. Dalam pengertian ini dapat pula dimaksudkan yaitu dasar pendirian yang diikuti, misalnya perkataan Imam Syafi’I: “Apabila telah sah hadis, maka itulah madzhabku.” Hal senada diungkaplan pula oleh Imam Syafi’I kepada Imam Ahmad bin Hanbal: “Apabila telah nyata hadis itu shahih disisi kamu, maka katakanlah kepadaku agar aku dapat menuju (mengikuti) kepadanya (hadis).”
Kata madzhab pun terkadang diartikan sebagai tempat buang air. Dijelaskan dalam sebuah riwayat:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم إِذَا ذَهَبَ الْمَذْهَبَ أَبْعَدَ قَالَ ذَهَبَ لِحَاجَتِهِ
"Rasulullah saw. jika pergi ke madzhab, beliau menjauh. (Menurut Rawi): Maka beliau pergi untuk hajatnya."
Sebab Terjadinya Madzhab
Setelah Nabi saw.. wafat, sebagian dari para shahabatnya pergi kebeberapa wilayah atau negeri dengan maksud untuk menyiarkan agama Islam, atau untuk keperluan lainnya. Istilah madzhab pada masa Nabi saw.. dan para shahabatnya tidak dikenal sama sekali. Istilah madzhab ini kemudian muncul setelah mereka tiada. Padahal pada masa para shahabat tradisi berijtihad sudah berkembang, Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib adalah diantara tokoh shahabat yang kerapkali berijtihad. Namun belum pernah diantara mereka mengatakan agar mengikuti madzhabnya atau madzhab tertentu. Padahal Nabi saw. pernah berpesan dalam riwayat Ahmad dan At-Tirmidzi: “Ikutilah olehmu dimasa kemudian setelahku nanti pada dua orang yaitu Abu Bakar dan Umar”. Lebih tegas lagi Nabi saw. bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّتِى الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمُهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ
"Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnahnya khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk dimasa setelahku." H.R. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah
Setelah mereka lahirlah generasi mujtahidin (ahli ijtihad) yang hidup sekitar abad II dan III yang kemudian nanti akan dijadikan oleh para pengikutnya masing-masing sebagai Imam madzhab. Mereka adalah madzhab-madzhab sekitar dunia fikih bukan aqidah (karena perbedaan dalam aqidah adalah bencana). Nama mereka cukup terkenal diantaranya:
a.Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir di Kuffah dan wafat di Baghdad.
b.Imam Malik bin Anas (93-179 H) lahir di Madinah dan wafat di Madinah pula.
c.Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I (150-204 H) lahir di Mekkah dan wafat di Mesir.
d.Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H) lahir di Baghdad dan wafat di Baghdad pula.
e.Imam Al-Laits bin Sa’ad (94-175 H) lahir di Mesir.
f.Imam Abdurrahman Al-Auza’I (88-157 H) lahir di Syam.
g.Imam Dawud bin Ali Adh-Dhahiri (202-270 H) lahir di Kuffah.
h.Imam ibnu Jarir Ath-Thabari (224-310 H) lahir di Thabaristan.
Para tabi’in yang tinggal di wilayah yang berbeda-beda yang telah menerima hadis dari para shahabat tersebut, mereka menyampaikannya pula kepada tabi’in-tabi’in yang tinggal diwilayah yang berbeda pula. Imam yang empat yaitu Syafi’I, Maliki, Hanafi, dan Hanbali adalah golongan tabi’in dan tabi’ut-tabi’in, tempat tinggal mereka berbeda-beda, ada yang di Hijaz, di Syam, di Kufah, di Mesir dan tempat lainnya.
Dengan demikian hadis yang sampai kepada Imam Maliki belum tentu sampai kepada Imam Hanafi, begitu pula sebaliknya. Hadis yang sampai kepada Imam-imam tersebut juga belum tentu sampai kepada Imam Syafi’I atau Imam Hanbali. Pada masa mereka itu belum ada percetakan, bahkan belum terdapat kertas yang cukup untuk penyiaran. Oleh karena itu masing-masing Imam hanya bisa mencatat hadis-hadis yang sampai kepadanya, dan dia beramal serta berfatwa dengan hadis-hadis yang diterimanya saja. Oleh sebab itulah timbulnya perselisihan pendapat antara imam-imam dalam beberapa masalah. Disamping itu tiap-tiap Imam tidak mendapatkan hadis-hadis yang cukup, maka timbul pula perselisihan tentang memahami ayat-ayat Quran yang perlu pada penerangan hadis.
Begitu pula murid-murid dan pengikut-pengikut imam-imam tersebut bertebaran ke beberapa negeri untuk mengajarkan agama. Masing-masing tentulah menganjurkan pendapat atau madzhab imam atau gurunya.
Oleh karena itu penduduk negara-negara Islam menganut beberapa madzhab. Afganistan, Turki, sebagian dari Mesir, Cina bermadzhab Hanafi; Indonesia, Malaysia, Philipina, Hijaz sebagian Mesir bermadzhab Syafi’I; Maroko dan beberapa negara Afrika bermadzhab Maliki; pengikut madzhab Hanbali terdapat di Asia kecil, dan merupakan madzhab yang paling sedikit pengikutnya. Palestina, Irak, Syam dan lain-lain yang berdekatan dengan negara tersebut menganut macam-macam madzhab.
Madzhab Bukan Empat
Sebenarnya, bila kita tinjau dari aspek historis madzhab-madzhab itu bukan hanya empat. Tapi diantaranya banyak yang sudah dianggap “madzhab ba’idah”, yakni madzhab yang telah hilang dari ingatan orang, atau telah lenyap sama sekali. Sedangkan madzhab yang empat itu mempunyai penganut dan pengaruh besar. Oleh karena itu orang hanya mengenal empat madzhab.
Dengan demikian ada beberapa faktor yang dapat mempertahankan eksistensi madzhab sehingga mampu mewarnai paradigma berfikir ulama-ulama setelahnya termasuk ulama abad sekarang. Faktor tersebut menurut Kiai Afif MA. (1991 : 59) diantaranya;
Pertama, imam-imam madzhab itu sendiri aktif menyebarkan pendapatnya secara langsung, disamping mereka membukukannya. Imam Syafi’i misalnya terkenal dengan Al-Umm yang berisikan kumpulan ijtihadnya tentang fikih dan Ar-Risalah tentang Ushul Fikih-nya. Imam Malik dengan Al-Muwatha’-nya demikian pula Imam Ahmad dengan Al-Musnad-nya.
Kedua, aktivitas murid-muridnya yang menyebarkan paham gurunya seperti Abu Yusuf yang mendapat julukan Qadhi Al-Qudhat dan Muhammad Hasan Asy-Syaibani yang cukup produktif mengembangkan paham Abu Hanifah, padahal Abu Hanifah sendiri tidak membukukannya. Namum yang harus jadi catatan adalah bahwa kesemua imam itu tidak pernah menganjurkan kepada murid-muridnya untuk bermadzhab atau bertaklid kepada pendapatnya.
Sementara faktor yang mengakibatkan madzhab-madzhab itu lenyap atau kurang eksis diantaranya adalah imam madzhab itu sendiri tidak sempat membukukannya hasil pemikiran ijtihadnya baik dalam bentuk buku maupun risalah. Atau murid-muridnya tidak terlalu aktif menyebarkan paham para gurunya setelah gurunya meninggal, sehingga paham gurunya berserakan di telan alam.
Kesepakatan Para Imam
Menurut catatan sejarah, dari semua Imam mujtahidin itu tidak ada seorangpun yang memproklamirkan diri sebagai Imam madzhab. Penyebutan Imam madzhab baru lahir kemudian setelah kewafatan mereka yang disebarkan oleh para pengikutnya masing-masing yang hidup pada abad IV. Lebih dari itu tidak ada satupun dari mereka yang menyatakan bahwa pahamnyalah yang paling benar atau memfatwakan agar fatwanya diikuti dan ditaklidi oleh kaum muslimin. Jadi munculnya istilah madzhab bukanlah keinginan dan rencana mereka. Justru mereka semua sangat jujur, rendah hati dan toleran dalam hal ijtihad.
Para Imam terutama keempat Imam yang terkenal dalam madzhab, kesemuanya telah seia-sekata dan tidak berselisih, bahwa timbangan untuk menetapkan “benar” atau “salah” atas sesuatu hokum yang beratasnamakan Islam itu mesti berdasarkan suatu dalil, argumentasi atau keterangan yang bersumber pada Qur’an dan Hadis Shahih.
Para Imam tidak rela, bila buah pikiran atau pendapat yang dipilih mereka dan kemudian ditetapkan atas hukum sesuatu itu, diikuti orang tanpa pengertian, hanya mengekor dan bertaklid saja kepada mereka. Mereka menerima fatwa tanpa mengetahui dasar-dasar pikiran serta sebab pengembalian ketetapan hukum dalam fatwanya itu. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan para Imam itu sendiri, diantaranya:
Imam Hanafi:
حَرَامُ عَلَى مَنْ لمَ ْيَعْرِفْ دَلِيْلِي أَنْ يُفْتِيَ بِكَلَامِيْ
"Haram bagi orang yang tidak tahu dalil yang kupakai untuk memberikan fatwa dengan ucapanku."
إِنْ كَانَ قَوْلِى يُخَالِفُ كِتَابَ اللهِ وَخَبَرَ رَسُوْلِ اللهِ فَاتْرُكُوا قَوْلِى
"Apabila ucapanku bertentangan dengan kitabullah (Al-quran) dan khabar Rasulullah (Sunnah), maka tinggalkanlah ucapanku."
هَذَا رَأْيُ النُّعْمَانِ بْنِ ثَابِتٍ وَهُوَ اَحْسَنُ مَا قَدَرْنَا عَلَيْهِ فَمَنْ جَاءَ بِاَحْسَنَ مِنْهُ فَهُوَ اَوْلَى بِالصَّوَابِ
"Ini adalah pendapat An-Nu'man bin Tsabit (pendapat) ini adalah pendapat yang terbaik diantara yang kupertimbangkan, (oleh karena itu), barang siapa yang datang membawa (keterangan) yang lebih baik darinya, maka itu lebih layak dinyatakan yang benar."
Imam Maliki:
إِنَّمَا اَنَا بَشَرٌ اُخْطِئُ وَاُصِيْبُ فَانْظُرُوْا فِى رَأْيِى فَكُلُّ مَا وَفَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَخُذُوْهُ وَكُلُّ مَالَمْ يُوَافِقِ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَاتْرُكُوْهُ
"Aku hanyalah seorang manusia biasa yang berbuat keliru dan (tidak mustahil) pula benar. Oleh karena itu periksalah pendapat-pendapatku! Apabila setiap (pendapatku) itu sesuai dengan Al-quran dan Sunnah, maka ambillah! Dan apabila setiap (pendapatku) itu tidak sesuai dengan Al-quran dan Sunnah, maka tinggalkanlah!"
Imam Syafi'i:
كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا خَبَرٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَاَنَا رَاجِعُ عَنْهَا فِى حَيَاتِى وَبَعْدَ مَمَاتِى
"Setiap masalah yang memiliki keterangan hadis shahih dari Rasulullah bertentangan dengan apa yang kukatakan, maka aku akan rujuk (kembali) pada hadis yang shahih itu, dan meninggalkan pendapatku itu selama hayatku dan sesudah matiku."
Imam Hanbali:
لَا تُقَلِّدْ دِيْنَكَ أَحَدًا مِنْ هؤُلَاءِ مَاجَاءَ مِنَ النَّبِيِّ وَأَصْحَابِهِ فَخُدُوْهُ
“Jangan engkau mengekor (bertaklid) dalam urusan agamamu kepada salah seorang di antara mereka. Apa-apa yang berasal dari Rasulullah dan para Shahabatnya, ambilah olehmu.”
Sekalipun kesepakatan itu telah dinyatakan oleh para Imam, akan tetapi masih juga timbul perbedaan di kalangan mereka. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor antara lain:
1.Untuk memperoleh sesuatu keterangan, pada masa para Imam tidak semudah seperti sekarang. Selain tempat para guru satu sama lain berjauhan letaknya, jumlah hadis-hadis yang diterima masing-masing guru kadang-kadang tidak sama.
2.Teknik grafika (mencetak) belum ada seperti sekarang. Adanya Qaul Qadim dan Qaul Jadid membuktikan bahwa keterangan itu berangsur-angsur diperoleh atau dalam urusan duniawi terjadi perubahan masyarakat.
Contoh Kasus
Imam Syafi’i pernah menyatakan bahwa apabila hadis yang di terima dari Ma’bad bin Nabatah dalam hal tidak batalnya wudlu jika mencium istri itu benar, maka beliau sendiri akan berpendapat demikian.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: لَوْ ثَبَتَ الْحَدِيْثُ مَعْبَدِ بْنِ نَبْطَةَ فِى الْقُبْلَةِ لَمْ أَرَفِيْهَا وَلَا فِى اللَّمْسِ الْوُضُوْءِ
Imam syafi’I berkata: “Jika benar hadis ma’bad bin Nabathah dalam hal mencium (istri) itu maka aku tidak akan berpendapat bahwa mencium dan menyentuh (istri) itu mesti berwudlu.”
Dalam hal lain beliau menegaskan:
لَوْ ثَبَتَ هذَا الْحَدِيْثُ لَا قُلْتُ بِهِ
“Bila hadis ini (yaitu hadis Wabisah yang mengatakan bahwa bermakmum sendirian di belakang shaf itu tidak sah), pasti aku berpendirian demikian.”
Imam Malik pernah berpendapat bolehnya shaum pada hari jum’at dikarenakan hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah melarang puasa pada hari Jum’at tidak sampai kepada beliau. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan sahabat Imam Malik sendiri yang bernama ad-Dawudi berkata:
لمَ ْيَبْلُغْ مَلِكًا هذَا الْحَدِيْثُ وَلَوْ بَلَغَهُ لَمْ يَخْتَلِفْهُ
“Hadis ini tidak sampai kepada Imam Malik, bila hadis tersebut sampai (diketahui) oleh beliau pasti beliau tidak akan berpendirian lain.”
Dari peristiwa itu nyatalah kepada kita, bahwa sebab terdapat perbedaan pendapat dalam masalah di atas, bukan sebab Imam Syafi’I atau Imam Maliki tidak berkehendak mengubah pendirian, tetapi belum menyelidiki atau meyakinkan sendiri keshahihan hadis termaksud. Bila ternyata hadis yang dipersoalkan itu ada apalagi shahih, maka pasti Imam Syafi’I dan Imam Maliki akan berpendapat demikian, dan itulah yang akan menjadi madzhab para Imam. Yakni, Imam Syafi’I akan menyatakan bahwa mencium atau bersentuhan kulit suami istri atau bersentuhan dengan perempuan secara umum, wudlunya tidak batal. Demikian juga Imam Ahmad akan berpendapat bahwa shaum pada hari jum’at merupakan shaum yang dilarang oleh Rasulullah.
Kesimpulan
Kita sama-sama maklum bahwa di antara undang-undang negara yang ditulis sesudah dimusyawarahkan dengan teliti, masih juga suka diperselisihkan dalam hal pemahamannya oleh hakim-hakim waktu menggunakannya. Oleh karena itu perselisihan diantara madzhab-madzhab tidak usah mengherankan atau membingungkan.
Sekarang, oleh sebab hadis-hadis telah terkumpul dan sudah disaring, maka kalau muslimin mau mengambil hukum-hukum agama, dari Quran dan hadis saja, Insya Allah tidak akan terdapat banyak perselisihan. Tidak usah dengan bermadzhab karena kalau ada yang lebih baik dari pada Nabi kenapa kita mengikuti Nabi?
1.Dalam Islam tidak ada khilafiyah, perbedaan paham. Sebab yang menjadi hakim bukan madzhab, Imam atau Ulama, tetapi semata-mata hanya Al-Qur’an dan Hadis Shahih. Hal ini sesuai dengan perkataan Imam Malik:
مَا الْحَقُّ إِلَّا وَاحِدٌ قَوْلَانِ مُخْتَلِفَانِ يَكُوْنَانِ صَوَاباً جَمِيْعًا؟ مَا الْحَقُّ وَالصَّوَابُ إِلَّا وَاحِدٌ
“Yang benar hanya satu, dua qaul yang bertolak belakang, apakah dua-duanya benar? Yang benar dan yang hak hanya satu.”
2.Para Imam, terutama yang empat, jelas tidak menghendaki adanya perbedaan dalam agama, mereka sepakat bahwa segala urusan harus dikembalikan pada Qur’an dan Hadis.
3.Tidak menjadi suatu keaiban bila ternyata pendapat yang semula dibatalkan, disebabkan terdapat keterangan atau hujjah yang lebih kuat. Berkencan dengan kesalahan itu seperti membasuh muka dengan air liur sedangkan berlari dari paham yang salah itu seperti membasuh air liur yang ada di muka.
4.Berani karena takut salah dan takut karena berani benar, itulah ciri muslim sejati.
Wallahu ‘Alamu bi Shawab
Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Al Imron 110
Isi tulisan ini membahas satu aspek penting untuk meluruskan paradigma dari penyebab kelemahan dan perbedaan yang terjadi dikalangan umat. Dikarenakan tidak rapatnya sebuah barisan merupakan salah satu penyebab datangnya perbedaan. Dan mungkin sekarang ini saya –mungkin juga yang lainnya- telah melihat bahwa dibawah debu telah terdapat percikan api.
Pengertian Madzhab
Asal makna madzhab ialah berjalan, aliran. Dalam istilah Islam, dipakai dengan arti pendapat, paham, atau aliran seorang alim besar dalam Islam yang digelari Imam, seperti madzhab Imam Hanafi, madzhab Imam Maliki, madzhab Imam Syafi’I, madzhab Imam Hanbali, dan lain-lainnya, tetapi yang masyhur ialah empat imam tersebut. Madzhab menurut ahli fikih ada dua: Pertama, mengikuti sesuatu yang dipercaya seperti perkataan: “sifulan mengikuti madzhab sifulan”. Kedua, tempat perjalanan yang diikuti atau yang dituju. Dalam pengertian ini dapat pula dimaksudkan yaitu dasar pendirian yang diikuti, misalnya perkataan Imam Syafi’I: “Apabila telah sah hadis, maka itulah madzhabku.” Hal senada diungkaplan pula oleh Imam Syafi’I kepada Imam Ahmad bin Hanbal: “Apabila telah nyata hadis itu shahih disisi kamu, maka katakanlah kepadaku agar aku dapat menuju (mengikuti) kepadanya (hadis).”
Kata madzhab pun terkadang diartikan sebagai tempat buang air. Dijelaskan dalam sebuah riwayat:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم إِذَا ذَهَبَ الْمَذْهَبَ أَبْعَدَ قَالَ ذَهَبَ لِحَاجَتِهِ
"Rasulullah saw. jika pergi ke madzhab, beliau menjauh. (Menurut Rawi): Maka beliau pergi untuk hajatnya."
Sebab Terjadinya Madzhab
Setelah Nabi saw.. wafat, sebagian dari para shahabatnya pergi kebeberapa wilayah atau negeri dengan maksud untuk menyiarkan agama Islam, atau untuk keperluan lainnya. Istilah madzhab pada masa Nabi saw.. dan para shahabatnya tidak dikenal sama sekali. Istilah madzhab ini kemudian muncul setelah mereka tiada. Padahal pada masa para shahabat tradisi berijtihad sudah berkembang, Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib adalah diantara tokoh shahabat yang kerapkali berijtihad. Namun belum pernah diantara mereka mengatakan agar mengikuti madzhabnya atau madzhab tertentu. Padahal Nabi saw. pernah berpesan dalam riwayat Ahmad dan At-Tirmidzi: “Ikutilah olehmu dimasa kemudian setelahku nanti pada dua orang yaitu Abu Bakar dan Umar”. Lebih tegas lagi Nabi saw. bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّتِى الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمُهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ
"Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnahnya khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk dimasa setelahku." H.R. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah
Setelah mereka lahirlah generasi mujtahidin (ahli ijtihad) yang hidup sekitar abad II dan III yang kemudian nanti akan dijadikan oleh para pengikutnya masing-masing sebagai Imam madzhab. Mereka adalah madzhab-madzhab sekitar dunia fikih bukan aqidah (karena perbedaan dalam aqidah adalah bencana). Nama mereka cukup terkenal diantaranya:
a.Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir di Kuffah dan wafat di Baghdad.
b.Imam Malik bin Anas (93-179 H) lahir di Madinah dan wafat di Madinah pula.
c.Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I (150-204 H) lahir di Mekkah dan wafat di Mesir.
d.Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H) lahir di Baghdad dan wafat di Baghdad pula.
e.Imam Al-Laits bin Sa’ad (94-175 H) lahir di Mesir.
f.Imam Abdurrahman Al-Auza’I (88-157 H) lahir di Syam.
g.Imam Dawud bin Ali Adh-Dhahiri (202-270 H) lahir di Kuffah.
h.Imam ibnu Jarir Ath-Thabari (224-310 H) lahir di Thabaristan.
Para tabi’in yang tinggal di wilayah yang berbeda-beda yang telah menerima hadis dari para shahabat tersebut, mereka menyampaikannya pula kepada tabi’in-tabi’in yang tinggal diwilayah yang berbeda pula. Imam yang empat yaitu Syafi’I, Maliki, Hanafi, dan Hanbali adalah golongan tabi’in dan tabi’ut-tabi’in, tempat tinggal mereka berbeda-beda, ada yang di Hijaz, di Syam, di Kufah, di Mesir dan tempat lainnya.
Dengan demikian hadis yang sampai kepada Imam Maliki belum tentu sampai kepada Imam Hanafi, begitu pula sebaliknya. Hadis yang sampai kepada Imam-imam tersebut juga belum tentu sampai kepada Imam Syafi’I atau Imam Hanbali. Pada masa mereka itu belum ada percetakan, bahkan belum terdapat kertas yang cukup untuk penyiaran. Oleh karena itu masing-masing Imam hanya bisa mencatat hadis-hadis yang sampai kepadanya, dan dia beramal serta berfatwa dengan hadis-hadis yang diterimanya saja. Oleh sebab itulah timbulnya perselisihan pendapat antara imam-imam dalam beberapa masalah. Disamping itu tiap-tiap Imam tidak mendapatkan hadis-hadis yang cukup, maka timbul pula perselisihan tentang memahami ayat-ayat Quran yang perlu pada penerangan hadis.
Begitu pula murid-murid dan pengikut-pengikut imam-imam tersebut bertebaran ke beberapa negeri untuk mengajarkan agama. Masing-masing tentulah menganjurkan pendapat atau madzhab imam atau gurunya.
Oleh karena itu penduduk negara-negara Islam menganut beberapa madzhab. Afganistan, Turki, sebagian dari Mesir, Cina bermadzhab Hanafi; Indonesia, Malaysia, Philipina, Hijaz sebagian Mesir bermadzhab Syafi’I; Maroko dan beberapa negara Afrika bermadzhab Maliki; pengikut madzhab Hanbali terdapat di Asia kecil, dan merupakan madzhab yang paling sedikit pengikutnya. Palestina, Irak, Syam dan lain-lain yang berdekatan dengan negara tersebut menganut macam-macam madzhab.
Madzhab Bukan Empat
Sebenarnya, bila kita tinjau dari aspek historis madzhab-madzhab itu bukan hanya empat. Tapi diantaranya banyak yang sudah dianggap “madzhab ba’idah”, yakni madzhab yang telah hilang dari ingatan orang, atau telah lenyap sama sekali. Sedangkan madzhab yang empat itu mempunyai penganut dan pengaruh besar. Oleh karena itu orang hanya mengenal empat madzhab.
Dengan demikian ada beberapa faktor yang dapat mempertahankan eksistensi madzhab sehingga mampu mewarnai paradigma berfikir ulama-ulama setelahnya termasuk ulama abad sekarang. Faktor tersebut menurut Kiai Afif MA. (1991 : 59) diantaranya;
Pertama, imam-imam madzhab itu sendiri aktif menyebarkan pendapatnya secara langsung, disamping mereka membukukannya. Imam Syafi’i misalnya terkenal dengan Al-Umm yang berisikan kumpulan ijtihadnya tentang fikih dan Ar-Risalah tentang Ushul Fikih-nya. Imam Malik dengan Al-Muwatha’-nya demikian pula Imam Ahmad dengan Al-Musnad-nya.
Kedua, aktivitas murid-muridnya yang menyebarkan paham gurunya seperti Abu Yusuf yang mendapat julukan Qadhi Al-Qudhat dan Muhammad Hasan Asy-Syaibani yang cukup produktif mengembangkan paham Abu Hanifah, padahal Abu Hanifah sendiri tidak membukukannya. Namum yang harus jadi catatan adalah bahwa kesemua imam itu tidak pernah menganjurkan kepada murid-muridnya untuk bermadzhab atau bertaklid kepada pendapatnya.
Sementara faktor yang mengakibatkan madzhab-madzhab itu lenyap atau kurang eksis diantaranya adalah imam madzhab itu sendiri tidak sempat membukukannya hasil pemikiran ijtihadnya baik dalam bentuk buku maupun risalah. Atau murid-muridnya tidak terlalu aktif menyebarkan paham para gurunya setelah gurunya meninggal, sehingga paham gurunya berserakan di telan alam.
Kesepakatan Para Imam
Menurut catatan sejarah, dari semua Imam mujtahidin itu tidak ada seorangpun yang memproklamirkan diri sebagai Imam madzhab. Penyebutan Imam madzhab baru lahir kemudian setelah kewafatan mereka yang disebarkan oleh para pengikutnya masing-masing yang hidup pada abad IV. Lebih dari itu tidak ada satupun dari mereka yang menyatakan bahwa pahamnyalah yang paling benar atau memfatwakan agar fatwanya diikuti dan ditaklidi oleh kaum muslimin. Jadi munculnya istilah madzhab bukanlah keinginan dan rencana mereka. Justru mereka semua sangat jujur, rendah hati dan toleran dalam hal ijtihad.
Para Imam terutama keempat Imam yang terkenal dalam madzhab, kesemuanya telah seia-sekata dan tidak berselisih, bahwa timbangan untuk menetapkan “benar” atau “salah” atas sesuatu hokum yang beratasnamakan Islam itu mesti berdasarkan suatu dalil, argumentasi atau keterangan yang bersumber pada Qur’an dan Hadis Shahih.
Para Imam tidak rela, bila buah pikiran atau pendapat yang dipilih mereka dan kemudian ditetapkan atas hukum sesuatu itu, diikuti orang tanpa pengertian, hanya mengekor dan bertaklid saja kepada mereka. Mereka menerima fatwa tanpa mengetahui dasar-dasar pikiran serta sebab pengembalian ketetapan hukum dalam fatwanya itu. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan para Imam itu sendiri, diantaranya:
Imam Hanafi:
حَرَامُ عَلَى مَنْ لمَ ْيَعْرِفْ دَلِيْلِي أَنْ يُفْتِيَ بِكَلَامِيْ
"Haram bagi orang yang tidak tahu dalil yang kupakai untuk memberikan fatwa dengan ucapanku."
إِنْ كَانَ قَوْلِى يُخَالِفُ كِتَابَ اللهِ وَخَبَرَ رَسُوْلِ اللهِ فَاتْرُكُوا قَوْلِى
"Apabila ucapanku bertentangan dengan kitabullah (Al-quran) dan khabar Rasulullah (Sunnah), maka tinggalkanlah ucapanku."
هَذَا رَأْيُ النُّعْمَانِ بْنِ ثَابِتٍ وَهُوَ اَحْسَنُ مَا قَدَرْنَا عَلَيْهِ فَمَنْ جَاءَ بِاَحْسَنَ مِنْهُ فَهُوَ اَوْلَى بِالصَّوَابِ
"Ini adalah pendapat An-Nu'man bin Tsabit (pendapat) ini adalah pendapat yang terbaik diantara yang kupertimbangkan, (oleh karena itu), barang siapa yang datang membawa (keterangan) yang lebih baik darinya, maka itu lebih layak dinyatakan yang benar."
Imam Maliki:
إِنَّمَا اَنَا بَشَرٌ اُخْطِئُ وَاُصِيْبُ فَانْظُرُوْا فِى رَأْيِى فَكُلُّ مَا وَفَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَخُذُوْهُ وَكُلُّ مَالَمْ يُوَافِقِ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَاتْرُكُوْهُ
"Aku hanyalah seorang manusia biasa yang berbuat keliru dan (tidak mustahil) pula benar. Oleh karena itu periksalah pendapat-pendapatku! Apabila setiap (pendapatku) itu sesuai dengan Al-quran dan Sunnah, maka ambillah! Dan apabila setiap (pendapatku) itu tidak sesuai dengan Al-quran dan Sunnah, maka tinggalkanlah!"
Imam Syafi'i:
كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا خَبَرٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَاَنَا رَاجِعُ عَنْهَا فِى حَيَاتِى وَبَعْدَ مَمَاتِى
"Setiap masalah yang memiliki keterangan hadis shahih dari Rasulullah bertentangan dengan apa yang kukatakan, maka aku akan rujuk (kembali) pada hadis yang shahih itu, dan meninggalkan pendapatku itu selama hayatku dan sesudah matiku."
Imam Hanbali:
لَا تُقَلِّدْ دِيْنَكَ أَحَدًا مِنْ هؤُلَاءِ مَاجَاءَ مِنَ النَّبِيِّ وَأَصْحَابِهِ فَخُدُوْهُ
“Jangan engkau mengekor (bertaklid) dalam urusan agamamu kepada salah seorang di antara mereka. Apa-apa yang berasal dari Rasulullah dan para Shahabatnya, ambilah olehmu.”
Sekalipun kesepakatan itu telah dinyatakan oleh para Imam, akan tetapi masih juga timbul perbedaan di kalangan mereka. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor antara lain:
1.Untuk memperoleh sesuatu keterangan, pada masa para Imam tidak semudah seperti sekarang. Selain tempat para guru satu sama lain berjauhan letaknya, jumlah hadis-hadis yang diterima masing-masing guru kadang-kadang tidak sama.
2.Teknik grafika (mencetak) belum ada seperti sekarang. Adanya Qaul Qadim dan Qaul Jadid membuktikan bahwa keterangan itu berangsur-angsur diperoleh atau dalam urusan duniawi terjadi perubahan masyarakat.
Contoh Kasus
Imam Syafi’i pernah menyatakan bahwa apabila hadis yang di terima dari Ma’bad bin Nabatah dalam hal tidak batalnya wudlu jika mencium istri itu benar, maka beliau sendiri akan berpendapat demikian.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: لَوْ ثَبَتَ الْحَدِيْثُ مَعْبَدِ بْنِ نَبْطَةَ فِى الْقُبْلَةِ لَمْ أَرَفِيْهَا وَلَا فِى اللَّمْسِ الْوُضُوْءِ
Imam syafi’I berkata: “Jika benar hadis ma’bad bin Nabathah dalam hal mencium (istri) itu maka aku tidak akan berpendapat bahwa mencium dan menyentuh (istri) itu mesti berwudlu.”
Dalam hal lain beliau menegaskan:
لَوْ ثَبَتَ هذَا الْحَدِيْثُ لَا قُلْتُ بِهِ
“Bila hadis ini (yaitu hadis Wabisah yang mengatakan bahwa bermakmum sendirian di belakang shaf itu tidak sah), pasti aku berpendirian demikian.”
Imam Malik pernah berpendapat bolehnya shaum pada hari jum’at dikarenakan hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah melarang puasa pada hari Jum’at tidak sampai kepada beliau. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan sahabat Imam Malik sendiri yang bernama ad-Dawudi berkata:
لمَ ْيَبْلُغْ مَلِكًا هذَا الْحَدِيْثُ وَلَوْ بَلَغَهُ لَمْ يَخْتَلِفْهُ
“Hadis ini tidak sampai kepada Imam Malik, bila hadis tersebut sampai (diketahui) oleh beliau pasti beliau tidak akan berpendirian lain.”
Dari peristiwa itu nyatalah kepada kita, bahwa sebab terdapat perbedaan pendapat dalam masalah di atas, bukan sebab Imam Syafi’I atau Imam Maliki tidak berkehendak mengubah pendirian, tetapi belum menyelidiki atau meyakinkan sendiri keshahihan hadis termaksud. Bila ternyata hadis yang dipersoalkan itu ada apalagi shahih, maka pasti Imam Syafi’I dan Imam Maliki akan berpendapat demikian, dan itulah yang akan menjadi madzhab para Imam. Yakni, Imam Syafi’I akan menyatakan bahwa mencium atau bersentuhan kulit suami istri atau bersentuhan dengan perempuan secara umum, wudlunya tidak batal. Demikian juga Imam Ahmad akan berpendapat bahwa shaum pada hari jum’at merupakan shaum yang dilarang oleh Rasulullah.
Kesimpulan
Kita sama-sama maklum bahwa di antara undang-undang negara yang ditulis sesudah dimusyawarahkan dengan teliti, masih juga suka diperselisihkan dalam hal pemahamannya oleh hakim-hakim waktu menggunakannya. Oleh karena itu perselisihan diantara madzhab-madzhab tidak usah mengherankan atau membingungkan.
Sekarang, oleh sebab hadis-hadis telah terkumpul dan sudah disaring, maka kalau muslimin mau mengambil hukum-hukum agama, dari Quran dan hadis saja, Insya Allah tidak akan terdapat banyak perselisihan. Tidak usah dengan bermadzhab karena kalau ada yang lebih baik dari pada Nabi kenapa kita mengikuti Nabi?
1.Dalam Islam tidak ada khilafiyah, perbedaan paham. Sebab yang menjadi hakim bukan madzhab, Imam atau Ulama, tetapi semata-mata hanya Al-Qur’an dan Hadis Shahih. Hal ini sesuai dengan perkataan Imam Malik:
مَا الْحَقُّ إِلَّا وَاحِدٌ قَوْلَانِ مُخْتَلِفَانِ يَكُوْنَانِ صَوَاباً جَمِيْعًا؟ مَا الْحَقُّ وَالصَّوَابُ إِلَّا وَاحِدٌ
“Yang benar hanya satu, dua qaul yang bertolak belakang, apakah dua-duanya benar? Yang benar dan yang hak hanya satu.”
2.Para Imam, terutama yang empat, jelas tidak menghendaki adanya perbedaan dalam agama, mereka sepakat bahwa segala urusan harus dikembalikan pada Qur’an dan Hadis.
3.Tidak menjadi suatu keaiban bila ternyata pendapat yang semula dibatalkan, disebabkan terdapat keterangan atau hujjah yang lebih kuat. Berkencan dengan kesalahan itu seperti membasuh muka dengan air liur sedangkan berlari dari paham yang salah itu seperti membasuh air liur yang ada di muka.
4.Berani karena takut salah dan takut karena berani benar, itulah ciri muslim sejati.
Wallahu ‘Alamu bi Shawab
Senin, 23 Februari 2009
KONTRAK POLITIK
oleh : Kang Andri
Para shahabat, ketika mereka mendengar berita wafatnya Rasulullah saw, langsung berinisiatif mengadakan pertemuan di Tsaqifah milik Bani Sa’idah. Turut serta dalam pertemuan itu tokoh-tokoh Anshar dan Muhajirin. Mereka meninggalkan perkara-perkara yang penting bagi mereka, diantaranya mempersiapkan pemakaman Rasulullah saw. dan pergi membicarakan masalah pengganti beliau.
Dalam pertemuan itu Abu Bakar berkhutbah, “Wahai orang-orang, siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah meninggal dan siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan mati. Muhammad adalah Rasul yang telah datang sebelumnya Rasul-Rasul. Sesungguhnya Muhammad telah berlalu dan agama ini mesti ada yang menjalankannya. Berikanlah pandangan dan pendapat kalian”.
Walaupun pada mulanya mereka berbeda pendapat mengenai siapa orang yang sepantasnya untuk di bai’at atau criteria yang mesti dimiliki oleh orang yang akan di pilih, namun kaum muslimin ternyata menerima sepenuhnya pembai’atan Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah saw.
Peristiwa tersebut menunjukan bahwa para shahabat telah ijma’ (sepakat) wajibnya mengangkat imam atau pemimpin. Ibnu Khaldun mengatakan, “Kemudian bahwa melantik imam adalah wajib yang kewajibannya diketahui dari agama dengan ijma’ para shahabat dan tabi’in karena para shahabat Rasulullah saw. ketika beliau wafat segera membai’at Abu Bakar dan menyerahkan kepadanya untuk mengatur urusan mereka. Demikian pula dalam setiap era setelah itu. Manusia atau umat tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan kacau dalam suatu masa dari berbagai masa. Maka dinyatakanlah hal itu sebagai ijma’ dan menunjukkan wajibnya melantik imam”. Muqaddimah Ibnu Khaldun hal 160.
Ulama ahlu sunnah memperkuat argumentasi kewajiban ini dengan menyebutkan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw. sebagai landasan terwujudnya ijma’ para shahabat, antara lain firman Allah swt :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu. Q.S. an-Nisa : 56
Setelah mengemukakan berbagai argumentasi, Ibnu Khaldun berkesimpulan bahwa kehidupan dunia ini bukanlah tujuan dari keberadaan manusia. Kehidupan tiada lain hanyalah satu fase perjalanan dan ia merupakan jalan untuk mencapai satu tujuan yang lain, yaitu kehidupan yang kekal di akhirat. Hukum-hukum politik hanya memandang kemaslahatan dalam kehidupan ini. Adapun khilafah atau imamah yang pada hakikatnya adalah pewaris posisi kenabian dan berfungsi untuk menerapkan hukum-hukum Allah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dalam dua kehidupan, yaitu dunia dan akhirat.
Namun, dengan menjadikan akhirat sebagai standar. Urusan keduniaan diatur berdasarkan apa yang membawa pada kebahagiaan manusia atau kesengsaraan mereka di hari akhirat, termasuk kekuasaan alias pemerintahan dan mempunyai kelebihan disbanding dengan system pemerintahan yang lain. Maka, jelaslah kewajiban ditegakannya. Teori Politik Islam, 2001 : 104.
Mekanisme Pemilihan Imam
Para ulama sepakat bahwa keabsahan imam hanya dapat dicapai dengan dua cara. Pertama, dengan nash, yakni penunjukan langsung dari Allah. Kedua, dengan pemilihan oleh umat. Selama tidak ada dalil yang meligitimasi cara pertama, maka yang harus ditempuh adalah cara kedua, yaitu umatlah yang memilih siapa yang akan menjadi imam dan yang akan mengurusi pemerintahan.
Para ulama fiqih telah menetapkannya secara legal formal dalam satu rumusan yang berbunyi “Sesungguhnya imamah itu identik dengan aqdun (kontrak) antara umat dengan imam”. Kontrak imamah merupakan salah satu di antara bentuk kesepakatan yang ditimbulkan oleh keinginan manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual beli, penyewaan, hibah dan seterusnya. Hanya saja kontrak keimamahan dalam system social dapat disebut sebagai kontrak pertama atau terbesar, yang menjadi acuan semua bentuk kontrak lainnya serta melegitimasi terjadinya kontrak-kontrak yang lain. Lebih dari itu, kontrak tersebut menjadi pilar yang menopang berjalannya system pemerintahan. Karena itu, kontrak imamah menjadi sumber yang dijadikan landasan bagi seorang imam untuk memperoleh kekuasaannya.
Adapun prosedur yang menjadi jalan terselesaikannya kontrak tersebut dinamakan bai’at. Ibnu Khaldun berkata, “Dahulu kalau mereka membai’at seorang amir dan mengadakan perjanjian dengannya, mereka berjabat tangan satu sama lain, sebagai penekanan akan absahnya kontrak itu. Sehingga terlihat mirip dengan perbuatan yang dilakukan oleh seorang pembeli dan penjual. Karena itu, prosedur ini disebut bai’at, dari kata ba’a (menjual)”. Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal 174 pasal 29.
Meskipun demikian, diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan bentuk bai’at terhadap imam. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh praktik pemerintahan Islam yang berkembang dalam sejarah.
A.Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa ini, pengangkatan empat orang shahabat menjadi khalifah dilakukan dengan mekanisme yang berbeda:
1.Pemilihan bebas dan terbuka melalui forum musyawarah tanpa ada seorang calon sebelumnya. Mekanisme pemilihan seperti ini terjadi pada musyawarah terpilihnya Abu Bakar di Balai Pertemuan Tsaqifah Bani Sa’idah.
2.Pemilihan dengan cara pencalonan atau penunjukan calon oleh khalifah sebelumnya dengan terlebih dahulu mengadakan konsultasi dengan para shahabat terkemuka dan kemudian diberitahukan kepada umat dan mereka menyetujuinya. Penunjukan ini bukan karena nepotisme (hubungan keluarga atau persahabatan antara khalifah yang mencalonkan dengan calon yang ditunjuk) melainkan karena kualifikasinya. Mekanisme pemilihan ini dipergunakan ketika penunjukan Umar oleh Khalifah Abu Bakar.
3.Pemilihan Tim Formatur atau Majelis Syura yang dibentuk khalifah sebelumnya. Anggota Tim bertugas memilih salah seorang di antara mereka menjadi khalifah. Mekanisme ini dipergunakan ketika pemilihan Usman bin Afan melalui Majelis Syura yang dibentuk oleh khalifah Umar bin Khatab yang beranggotakan enam orang, yakni Ali bin Abu Thalib, Usman bin Afan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abu Waqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidullah serta Abdullah bin Umar tanpa punya hak suara. Tim ini dibekali oleh Umar dengan nasehat dan petunjuk.
4.Pengangkatan spontanitas di tengah-tengah situasi yang kacau akibat pemberontakan sekelompok masyarakat muslim yang menuntut keadilan atas pembunuhan Usman bin Afan. Mekanisme ini terjadi pada pengangkatan Ali bin Abu Thalib oleh sebagian besar kaum muslimin di Madinah.
Tiga macam mekanisme pemilihan yang pertama, dalam rangka suksesi kepemimpinan, menurut ibnu Hazm adalah cara yang menjadi ijma’ shahabat. Karena itu, ketiga cara tersebut menjadi ijma’ dan tidak boleh membuat cara lain. Tarikh al-Madzahabil Islamiyah, hal 96.
Ketiga cara tersebut lebih sesuai atau identik dengan system pemilihan kepala Negara dalam pemerintahan demokratis. Artinya cara pertama dapat diidentikan dengan pemilihan kepala Negara langsung oleh rakyat, sekalipun prosesnya berbeda. Cara kedua identik dengan seorang kepa Negara yang mempersiapkan penggantinya dengan terlebih dahulu berkonsultasi atau meminta pendapat dari para ahli. Sedangkan cara ketiga identik dengan pemilihan kepala Negara oleh wakil-wakil rakyat, sebagaimana lembaga perwakilan rakyat pada masa kini. System ketiga ini melahirkan konsep ahlul halli wal aqli. Dr. Abdul Karim Zaidan menyatakan bahwa “Ahlul halli wal aqli ialah orang-orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat para wakil itu karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya”. Fiqih Siyasah, 1995 : 67.
Konsep ini menunjukan bahwa kecenderungan umat Islam generasi pertama dalam memilih pemimpin adalah secara tidak langsung atau melalui perwakilan, karena kepercayaan terhadap kejujuran dan kecakapan para wakil-wakil rakyat. Dari segi fungsionalnya, ini sama seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Indonesia sebagai lembaga tertinggi Negara. Namun dalam beberapa aspek lainnya, antara ahlu halli wal aqli dan MPR tidak identik, karena yang paling mendasar adalah standar kualifikasi wakil-wakil rakyat yang duduk di majelis tersebut.
B.Pasca Khulafaur Rasyidin
Pada masa ini, mekanisme pengangkatan imam pada umumnya dilakukan melalui penunjukan putra mahkota, yakni penunjukan yang dilakukan oleh imam kepada putra atau keturunannya. Mekanisme pengangkatan ini melahirkan pemerintahan monarki, dinasti atau kerajaan, seperti Dinasti Umayah (berkuasa sejak 41 sampai 132 H) dan Dinasti Abasiyyah (berkuasa sejak 132 sampai 652 H / 750-1258 M).
Meskipun system pemerintahan monarki, namun dinasti-dinasti ini tetap memakai gelar khalifah. Memasuki akhir abad XIX M, system monarki diubah menjadi system monarki konstitusional.
C.Pasca Khilafah (Zaman Modern)
Mekanisme pengangkatan imam pada masa ini sangat beragam. Abad ini merupakan perubahan terakhir dari praktik pemerintahan di dunia Islam yang dipelopori oleh Mustafa Kemal Attaturk di tubuh kerajaan Turki Usmani pada abad XX.
Pada abad ini boleh dikatakan bahwa hamper seluruh pemerintahan di dunia Islam sudah mempunyai konstitusi dengan system dan bentuk pemerintahan yang berbeda. Pada umumnya, system pemerintahan abad ini berbentuk Republik.
Uraian singkat di atas menunjukan bahwa pemilu pada hakikatnya merupakan kontrak politik masyarakat yang berkaitan dengan kepemimpinan. Kedudukan pemilu sangat dipengaruhi oleh konstitusi suatu Negara serta system dan bentuk pemerintahannya. Karena itu timbul suatu persoalan yang mendasar, apakah system itu merupakan aktualisasi pemahaman masyarakat terhadap al-Quran dan Sunnah Rasul yang tidak menetapkan system dan bentuk pemerintahan yang harus diikuti? Atau disebabkan oleh pengaruh lingkungan budaya dan sejarah masing-masing Negara? Atau pengaruh perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan?
Wallahu ‘alamu bi Shawab
Para shahabat, ketika mereka mendengar berita wafatnya Rasulullah saw, langsung berinisiatif mengadakan pertemuan di Tsaqifah milik Bani Sa’idah. Turut serta dalam pertemuan itu tokoh-tokoh Anshar dan Muhajirin. Mereka meninggalkan perkara-perkara yang penting bagi mereka, diantaranya mempersiapkan pemakaman Rasulullah saw. dan pergi membicarakan masalah pengganti beliau.
Dalam pertemuan itu Abu Bakar berkhutbah, “Wahai orang-orang, siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah meninggal dan siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan mati. Muhammad adalah Rasul yang telah datang sebelumnya Rasul-Rasul. Sesungguhnya Muhammad telah berlalu dan agama ini mesti ada yang menjalankannya. Berikanlah pandangan dan pendapat kalian”.
Walaupun pada mulanya mereka berbeda pendapat mengenai siapa orang yang sepantasnya untuk di bai’at atau criteria yang mesti dimiliki oleh orang yang akan di pilih, namun kaum muslimin ternyata menerima sepenuhnya pembai’atan Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah saw.
Peristiwa tersebut menunjukan bahwa para shahabat telah ijma’ (sepakat) wajibnya mengangkat imam atau pemimpin. Ibnu Khaldun mengatakan, “Kemudian bahwa melantik imam adalah wajib yang kewajibannya diketahui dari agama dengan ijma’ para shahabat dan tabi’in karena para shahabat Rasulullah saw. ketika beliau wafat segera membai’at Abu Bakar dan menyerahkan kepadanya untuk mengatur urusan mereka. Demikian pula dalam setiap era setelah itu. Manusia atau umat tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan kacau dalam suatu masa dari berbagai masa. Maka dinyatakanlah hal itu sebagai ijma’ dan menunjukkan wajibnya melantik imam”. Muqaddimah Ibnu Khaldun hal 160.
Ulama ahlu sunnah memperkuat argumentasi kewajiban ini dengan menyebutkan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw. sebagai landasan terwujudnya ijma’ para shahabat, antara lain firman Allah swt :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu. Q.S. an-Nisa : 56
Setelah mengemukakan berbagai argumentasi, Ibnu Khaldun berkesimpulan bahwa kehidupan dunia ini bukanlah tujuan dari keberadaan manusia. Kehidupan tiada lain hanyalah satu fase perjalanan dan ia merupakan jalan untuk mencapai satu tujuan yang lain, yaitu kehidupan yang kekal di akhirat. Hukum-hukum politik hanya memandang kemaslahatan dalam kehidupan ini. Adapun khilafah atau imamah yang pada hakikatnya adalah pewaris posisi kenabian dan berfungsi untuk menerapkan hukum-hukum Allah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dalam dua kehidupan, yaitu dunia dan akhirat.
Namun, dengan menjadikan akhirat sebagai standar. Urusan keduniaan diatur berdasarkan apa yang membawa pada kebahagiaan manusia atau kesengsaraan mereka di hari akhirat, termasuk kekuasaan alias pemerintahan dan mempunyai kelebihan disbanding dengan system pemerintahan yang lain. Maka, jelaslah kewajiban ditegakannya. Teori Politik Islam, 2001 : 104.
Mekanisme Pemilihan Imam
Para ulama sepakat bahwa keabsahan imam hanya dapat dicapai dengan dua cara. Pertama, dengan nash, yakni penunjukan langsung dari Allah. Kedua, dengan pemilihan oleh umat. Selama tidak ada dalil yang meligitimasi cara pertama, maka yang harus ditempuh adalah cara kedua, yaitu umatlah yang memilih siapa yang akan menjadi imam dan yang akan mengurusi pemerintahan.
Para ulama fiqih telah menetapkannya secara legal formal dalam satu rumusan yang berbunyi “Sesungguhnya imamah itu identik dengan aqdun (kontrak) antara umat dengan imam”. Kontrak imamah merupakan salah satu di antara bentuk kesepakatan yang ditimbulkan oleh keinginan manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual beli, penyewaan, hibah dan seterusnya. Hanya saja kontrak keimamahan dalam system social dapat disebut sebagai kontrak pertama atau terbesar, yang menjadi acuan semua bentuk kontrak lainnya serta melegitimasi terjadinya kontrak-kontrak yang lain. Lebih dari itu, kontrak tersebut menjadi pilar yang menopang berjalannya system pemerintahan. Karena itu, kontrak imamah menjadi sumber yang dijadikan landasan bagi seorang imam untuk memperoleh kekuasaannya.
Adapun prosedur yang menjadi jalan terselesaikannya kontrak tersebut dinamakan bai’at. Ibnu Khaldun berkata, “Dahulu kalau mereka membai’at seorang amir dan mengadakan perjanjian dengannya, mereka berjabat tangan satu sama lain, sebagai penekanan akan absahnya kontrak itu. Sehingga terlihat mirip dengan perbuatan yang dilakukan oleh seorang pembeli dan penjual. Karena itu, prosedur ini disebut bai’at, dari kata ba’a (menjual)”. Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal 174 pasal 29.
Meskipun demikian, diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan bentuk bai’at terhadap imam. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh praktik pemerintahan Islam yang berkembang dalam sejarah.
A.Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa ini, pengangkatan empat orang shahabat menjadi khalifah dilakukan dengan mekanisme yang berbeda:
1.Pemilihan bebas dan terbuka melalui forum musyawarah tanpa ada seorang calon sebelumnya. Mekanisme pemilihan seperti ini terjadi pada musyawarah terpilihnya Abu Bakar di Balai Pertemuan Tsaqifah Bani Sa’idah.
2.Pemilihan dengan cara pencalonan atau penunjukan calon oleh khalifah sebelumnya dengan terlebih dahulu mengadakan konsultasi dengan para shahabat terkemuka dan kemudian diberitahukan kepada umat dan mereka menyetujuinya. Penunjukan ini bukan karena nepotisme (hubungan keluarga atau persahabatan antara khalifah yang mencalonkan dengan calon yang ditunjuk) melainkan karena kualifikasinya. Mekanisme pemilihan ini dipergunakan ketika penunjukan Umar oleh Khalifah Abu Bakar.
3.Pemilihan Tim Formatur atau Majelis Syura yang dibentuk khalifah sebelumnya. Anggota Tim bertugas memilih salah seorang di antara mereka menjadi khalifah. Mekanisme ini dipergunakan ketika pemilihan Usman bin Afan melalui Majelis Syura yang dibentuk oleh khalifah Umar bin Khatab yang beranggotakan enam orang, yakni Ali bin Abu Thalib, Usman bin Afan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abu Waqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidullah serta Abdullah bin Umar tanpa punya hak suara. Tim ini dibekali oleh Umar dengan nasehat dan petunjuk.
4.Pengangkatan spontanitas di tengah-tengah situasi yang kacau akibat pemberontakan sekelompok masyarakat muslim yang menuntut keadilan atas pembunuhan Usman bin Afan. Mekanisme ini terjadi pada pengangkatan Ali bin Abu Thalib oleh sebagian besar kaum muslimin di Madinah.
Tiga macam mekanisme pemilihan yang pertama, dalam rangka suksesi kepemimpinan, menurut ibnu Hazm adalah cara yang menjadi ijma’ shahabat. Karena itu, ketiga cara tersebut menjadi ijma’ dan tidak boleh membuat cara lain. Tarikh al-Madzahabil Islamiyah, hal 96.
Ketiga cara tersebut lebih sesuai atau identik dengan system pemilihan kepala Negara dalam pemerintahan demokratis. Artinya cara pertama dapat diidentikan dengan pemilihan kepala Negara langsung oleh rakyat, sekalipun prosesnya berbeda. Cara kedua identik dengan seorang kepa Negara yang mempersiapkan penggantinya dengan terlebih dahulu berkonsultasi atau meminta pendapat dari para ahli. Sedangkan cara ketiga identik dengan pemilihan kepala Negara oleh wakil-wakil rakyat, sebagaimana lembaga perwakilan rakyat pada masa kini. System ketiga ini melahirkan konsep ahlul halli wal aqli. Dr. Abdul Karim Zaidan menyatakan bahwa “Ahlul halli wal aqli ialah orang-orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat para wakil itu karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya”. Fiqih Siyasah, 1995 : 67.
Konsep ini menunjukan bahwa kecenderungan umat Islam generasi pertama dalam memilih pemimpin adalah secara tidak langsung atau melalui perwakilan, karena kepercayaan terhadap kejujuran dan kecakapan para wakil-wakil rakyat. Dari segi fungsionalnya, ini sama seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Indonesia sebagai lembaga tertinggi Negara. Namun dalam beberapa aspek lainnya, antara ahlu halli wal aqli dan MPR tidak identik, karena yang paling mendasar adalah standar kualifikasi wakil-wakil rakyat yang duduk di majelis tersebut.
B.Pasca Khulafaur Rasyidin
Pada masa ini, mekanisme pengangkatan imam pada umumnya dilakukan melalui penunjukan putra mahkota, yakni penunjukan yang dilakukan oleh imam kepada putra atau keturunannya. Mekanisme pengangkatan ini melahirkan pemerintahan monarki, dinasti atau kerajaan, seperti Dinasti Umayah (berkuasa sejak 41 sampai 132 H) dan Dinasti Abasiyyah (berkuasa sejak 132 sampai 652 H / 750-1258 M).
Meskipun system pemerintahan monarki, namun dinasti-dinasti ini tetap memakai gelar khalifah. Memasuki akhir abad XIX M, system monarki diubah menjadi system monarki konstitusional.
C.Pasca Khilafah (Zaman Modern)
Mekanisme pengangkatan imam pada masa ini sangat beragam. Abad ini merupakan perubahan terakhir dari praktik pemerintahan di dunia Islam yang dipelopori oleh Mustafa Kemal Attaturk di tubuh kerajaan Turki Usmani pada abad XX.
Pada abad ini boleh dikatakan bahwa hamper seluruh pemerintahan di dunia Islam sudah mempunyai konstitusi dengan system dan bentuk pemerintahan yang berbeda. Pada umumnya, system pemerintahan abad ini berbentuk Republik.
Uraian singkat di atas menunjukan bahwa pemilu pada hakikatnya merupakan kontrak politik masyarakat yang berkaitan dengan kepemimpinan. Kedudukan pemilu sangat dipengaruhi oleh konstitusi suatu Negara serta system dan bentuk pemerintahannya. Karena itu timbul suatu persoalan yang mendasar, apakah system itu merupakan aktualisasi pemahaman masyarakat terhadap al-Quran dan Sunnah Rasul yang tidak menetapkan system dan bentuk pemerintahan yang harus diikuti? Atau disebabkan oleh pengaruh lingkungan budaya dan sejarah masing-masing Negara? Atau pengaruh perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan?
Wallahu ‘alamu bi Shawab
Selasa, 17 Februari 2009
INDAHNYA MENUTUP AURAT
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوْ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي اْلإِرْبَةِ مِنْ الرِّجَالِ أَوْ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. النور:31
Katakanlah (olehmu Muhammad), kepada wanita-wanita mukminat, hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suaminya, bapaknya, bapak dari suaminya, puteranya, putera dari suaminya, saudaranya, putera dari saudara laki-lakinya, putera dari sadara perempuannya, perempuan muslim (lainnya), hamba sahaya yang mereka miliki, pelayanan yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan, dan janganlah mereka memukulkan kakinya (ke bumi) agar diketahui perhiasan yang tersembunyi (pada kakinya itu), bertaubatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar mendapat keberuntungan. An-Nur:31
Tafsir Mufradat
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ “dan hendaklah memelihara kemaluannya”. Al-Qurtubi mengatakan, yang dimaksud ayat ini mencakup perintah menutup aurat dan memeliharanya dari perbuatan zina sebagaimana dalam hadis diterangkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada kakek Bahz yang bernama Muawiyah bin Haidah:
ِاحْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
”Peliharalah auratmu melainkan kepada isterimu atau hamba sahaya yang kamu miliki! H.r. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah
Dan dalam Alquran diterangkan:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ * إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. المؤمنون:5-6
(orang-orang yang beriman itu adalah) mereka yang memelihara kemaluannya. Kecuali kepada isteri-isterinya atau hamba sahaya yang mereka miliki. Al-Mu’minun:5-6
زِينَتَهُنَّ adalah perhiasan, seperi, anting, kalung, gelang dan lain-lain. Atau bisa juga yang dimaksud oleh ayat adalah, anggota-anggota tubuh yang biasa ditempeli perhiasan yang anggota tubuh tersebut haram dilihat oleh orang yang bukan mahramnya.
مَا ظَهَرَ مِنْهَا إِلاَّ (kecuali yang biasa nampak daripadanya). Lafad ayat ini mubham, artinya perlu penjelasan dan batasan yang jelas, sebab dalam Alquran tidak diterangkan secara sarih (jelas) apa yang dimaksud ma zahara minha. Namun, ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud ayat itu adalah baju, cincin jari atau perhiasan lainnya yang tidak dapat disembunyikan. Ada juga yang berpendapat, maksudnya adalah wajah dan telapak tangan. Pembahasan ini –Insya Allah- akan dijelaskan dalam sub judul Ahkamusy Syar’i.
بِخُمُرِهِنَّ : Lafad ini bentuk jamak dari خمار yang berarti tutup kepala. Ibnul Manzhur berkata dalam kitabnya Lisanul Arab,”Khimar itu sesuatu yang biasa digunakan tutup kepala oleh perempuan”.
جُيُوبِهِنَّ : Lafad ini jamak dari جيب yang biasa diterjemah dengan dada., padahal arti pokok adalah sebuah lubang di bagian atas jilbab atau baju, yang dengan adanya lubang tersebut terlihatlah sebagian dada perempuan. (Tafisur Munir juz XVIII:211 dan Tafsir Ash-Shabuni II: 144-145)
Sababun Nuzul Ayat
Abdullah bin Jabir menceriterakan, bahwasanya Asma binti Mirtsad memiliki sebuah kebun kurma. Lalu ada beberapa perempuan memasuki kebun tersebut tanpa memakai izar (pakaian sejenis sarung) sehingga nampak gengge, dada dan jambul mereka. Maka Asma berkata kepada mereka,” ما أقبح هذا (Betapa jeleknya perbuatan kalian ini)”. Kemudian turunlah ayat di atas. H.r. Ibnu Abu Hatim
Makna Global Ayat
Pada ayat sebelumnya, yakni Alquran surat An-Nur:30, Allah swt. memerintahkan kepada laki-laki mukmin agar menundukkan sebagian pandangan serta memelihara kemaluan dan auratnya. Demikian juga dalam ayat ini, Allah swt. memerintahkan kepada perempuan-perempuan mukminat hal yang sama. Namun, dalam ayat ini ada tambahan yaitu, mereka tidak boleh menampakkan perhiasaannya kecuali kepada mahramnya, karena hal itu lebih utama dan lebih terpelihara baginya, kecuali perhiasan yang biasa nampak, seperti baju, cincin, celak, atau yang lainnya, itupun tanpa ada maksud memperlihatkannya, memakainya dengan sombong atau niat yang jelek. Sebab dalam hadis diterangkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ يَمْشِي فِي بُرْدَيْهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ فَخَسَفَ اللهُ بِهِ اْلأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. رواه أحمد ومسلم
Dari Abu Hurairah, ia berkata,”Rasululah saw. bersabda,”Ada seseorang berjalan (berlagak) dengan sombong pada pakaian yang dikenainya. Sungguhnya hatinya merasa kagum dengan perbuatannya. Lalu Allah menenggelamkan orang tersebut ke bumi. Maka ia akan terus-menerus berada di dalamnya hinga hari kiamat”. H.r. Ahmad dan Muslim
Sungguh kita telah ketahui, bahwa orang-orang jahiliyah memutuskan dan bertindak segala sesuatu tanpa memakai hukum Allah, demikian juga dalam hal berpakaian. Perempuan-perempuan pada jaman jahiliyah berpakaian sekehendak hati mereka sendiri, yang penting suka atau orang lain suka melihatnya. Ternyata hal itu pun masih dilakukan oleh mayoritas perempuan muslim jaman sekarang. Mereka berpakaian asal senang, bagus atau indah, tetapi tidak memperhatikan batas auratnya yang ditetapkan Allah, malah tidak sedikit yang merasa bangga memperlihatkan bahkan mempertontonkan aurat kepada yang bukan mahramnya. Ada juga yang memakai tutup kepala, tapi hanya disimpam di atas pundaknya atau di tarik sedikit ke atas hingga terlihat rambut bagian depan dan lehernya.
Setiap muslim wajib mengetahui, bahwa Allah swt. telah memerintahkan umat-Nya untuk menutup aurat. Setelah mengetahui, maka ia wajib melaksanakan perintah tersebut. Bila dilanggar, maka akan ada sangsi dari Allah. Dalam hadis diterangkan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَزَعَتْ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا هَتَكَتْ سِتْرَ مَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ رَبِّهَا. وفي لفظ "خَرَّقَ اللهُ عَنْهَا سِتْرًا. رواه أحمد
Dari Aisyah, ia berkata, ”Aku mendengar Rasululah saw. bersabda, ’Perempuan mana saja yang membuka baju bukan di rumah suaminya (memperlihatkan kepada yang bukan mahramnya), maka ia telah membuka aib antara dia dan Tuhannya”. Dan dalam lafad lain “Pasti Allah akan membukakan aibnya” . H.r. Ahmad
Perintah menutup aurat ini, tidak lain untuk menjaga keutamaan, kehormatan, dan menjaga dirinya dari kejahatan yang timbul akibat dari memperlihatkan aurat tersebut. Selain itu, orang senantiasa menutup auratnya karena mengharapkan rida dan maghfirah-Nya akan mendapat derajat yang sangat mulia di hadapan Allah swt.
Arti Aurat
Kata aurat mempunyai dua arti yaitu, pertama; berarti bagian tubuh manusia yang malu bila dilihat orang lain. Kedua; berarti kelemahan, tidak ada kemampuan bertahan atau membela diri bila di serang. Misalnya dalam Alquran surat Al-Ahzab ayat 13 diterangkanإن بيوتناعورة “Sesungguhnya rumah kami beraurat”, artinya tidak sanggup menahan bahaya maling sebab pintu dan dindingnya gampang dibongkar orang. (Ar-Raghib Al-Asfahani 365)
Oleh karena itu, dengan dua arti tersebut K.H.E. Abdurahman mengatakan, ”Aurat itu memberi isyarat akan adanya sesuatu yang berharga, menarik dan mengundang nafsu orang untuk mengganggunya. Oleh karena itu, bila pertahanan yang melindunginya tidak kuat (penutup aurat), tentulah simpanan yang berharga itu mudah dicuri atau dirampas orang”. (Risalah kecil, tahun 1969)
Hukum Menutup Aurat dan Memperlihatkannya
Dalam AlQuran surat An-Nur:31 di atas diterangkan dengan tegas dan jelas, bahwa menutup aurat itu wajib hukumnya dan haram memperlihatkannya. Demikian juga dalam hadis Nabi saw. Beliau bersabda kepada kakek Bahz bin Hakim:
احفظ عورتك إلا من زوجتك أو ما ملكت يمينك. قلت : فإذا كان القوم بعضهم في بعض؟ قال : إن استطعت أن لا يراها أحد فلا يرينها. قلت : فإذا كان أحدنا خاليا؟ قال : فالله أحق أن يستحيى منه. رواه الخمسة إلا النسائي
“Jagalah auratmu kecuali kepada istrimu dan hambamu” Aku berkata, (bagaimana) kalau kaum itu, sebagiannya bercampur dengan sebagian yanmg lain? Nabi menjawab, ’Kalau engkau mampu seorangpun tidak melihatnya, maka janganlah kamu sekali-kali memperlihatkannya’. Aku bertanya, ’Bagaimana kalau salah seorang dari kami sendirian? Nabi menjawab, ’Maka Allah lebih berhak (kamu) malu kepada-Nya.” HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasai
عن ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالتَّعَرِّيَ فَإِنَّ مَعَكُمْ مَنْ لاَ يُفَارِقُكُمْ إِلاَّ عِنْدَ الْغَائِطِ وَحِينَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى أَهْلِهِ فَاسْتَحْيُوهُمْ وَأَكْرِمُوهُمْ. رواه الترمذي
Dari Ibnu umar, ia berkata, ”Bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda, ’Janganlah kamu membuka auratmu, karena sesungguhnya bersamamu ada orang-orang yang tidak dapat berpisah denganmu, melainkan ketika buang hajat dan ketika seseorang mendatangi isterinya, malulah dan hormatilah mereka.” H.r. At-Tirmidzi
Batas Aurat Wanita
Kaum wanita memiliki daya tarik yang sangat kuat. Setiap jengkal dari anggota tubuhnya, mulai dari rambut hingga ujung kakinya, memiliki daya tarik bagi kaum pria. Itulah sebabnya kaum wanita diperintahkan untuk menutup seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan, seperti diterangkan :
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَمِنْهَا, وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُورِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
…Dan janganlah mereka (kaum mukminat) menampakkan perhiasaanya melainkan yang biasa nampak daripadanya, dan hendaklah mereka menutupi dada-dada mereka…An;Nur : 31
Yang dimaksud “ma zhahara minha” dalam hadis diterangkan:
عن أم سلمة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يرى منها إلا هذا وهذا, وأشار إلى وجهه وكفيه. رواه أبو داود
Dari Ummu Salamah, ia berkata, ”Rasulullah saw. bersabda, ’Sesungguhnya perempuan itu apabila telah mengalami haid tidak boleh terlihat daripadanya melainkan ini dan ini, beliau berisyasat kepada wajah dan kedua telapak tangannya.” H.r. Abu daud
Selain itu, ada keterangan lain yang menguatkan bahwa hanya telapak tangan dan wajahlah yang bukan aurat.
عَنْ مُحَمَّدٍ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ : فَلاَ تُصَلِّيَنَّ جَارِيَةٌ مِنْهُنَّ وَقَدْ حَاضَتْ إِلاَّ وَعَلَيْهَا خِمَارٌ. رواه أحمد
Dari Muhammad, ia berkata, ’Bahwa Aiysah berkata, ”Maka janganlah hamba sahaya perempuan di antara kamu melakukan salat padahal sudah mengalami haid kecuali memakai khimar (tutup kepala).” H.r. Ahmad
اَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ سَأَلَتِ النَّبِيَّ : أَتُصلِّى المَرْأَةُ فِي دِرْعٍ وَخِمَارٍ وَلَيْسَ عَلَيْهَا إِزَارٌ؟ قَالَ : إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّى ظَهْرَ قَدَمَيْهَا. رواه أبو داود
“Sesungguhnya Ummu Salamah bertanya kepada Nabi “Bolehkah seorang wanita shalat dengan mengenakan baju kurung dan khimar (kain penutup kepala) dan tidak memakai izar (kain sejenis sarung)? Nabi menjawab, ‘(Boleh) bila keadaaan baju kurung itu menutupi kedua kakinya.” H.r. Abu Daud
Menutup aurat bagi wanita, bukan hanya sekedar memakai baju atau pakaian saja, melainkan harus diperhatikan layak dan tidaknya pakaian tersebut, seperti memakai pakaian yang tipis hingga terlihat bentuk tubuh atau pakaian yang ketat hingga membentuk lekuk tubuh. Sebab cara berpakaian seperti itu dilarang oleh islam, siapapun yang melanggarnya akan mendapatkan sangsi. Sehubungan dengan masalah tersebut, Rasulullah saw bersabda :
يَارُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُنْيَا عَارِيَةٌ فِي الاَخِرَةِ. رواه اليخاري
‘Perhatikanlah! Tidak sedikit yang berpakaian di dunia, (tetapi mereka) telanjang di akhiratnya”. HR. Al-Bukhari
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam syarah Al-Bukhari, yakni Fatul Bari menerangkan: Yang dimaksud hadis tersebut ada dua pengertian, pertama ialah:
كَا سِيَةٌ فِي الدُنْيَا بِالثِيَابِ لِوُجُوْدِ الْغِنَى عَارِيَةٌ فِي اْلاَخِرَةِ مِنَ الثَوَابِ لِعَدَمِ اْلعَمَلِ فِي الدُّنْيَا
“Berpakaian di dunia dengan pakaian (yang lengkap) disebabkan adanya kemampuan, tetapi telanjang di akhirat dari ganjaran (tidak mendapat kebaikan) disebabkan tidak ada amal sholeh di dunianya”.
Sedangkan pengertian yang kedua ialah
كَا سِيَةٌ بِالثِّيَابِ لَكِنَّهَا شَفَفَةُ لاَ تَسْتُرُ عَوْرَتَهَا فَتَعَاقَبَ فِي الاَخِرَةِ بِالْعُرَى جَزَاءً ذَلَكَ
“Berpakaian dengan macam-macam baju tetapi pakaiannya membayang (sehingga) tidak menutup auratnya, maka dia disiksa di akhirat dengan telanjang (kehinaan) sebagai balasannya.”
Maksud tersebut diperkuat dengan hadis Rasulullah yang melarang seorang perempuan memakai pakaian yang tipis hingga terlihat lekuk tubuhnya.
أَنَّ اَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِى بَكرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم عليها ثِيَا بٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللهِ
“Bahwasanya Asma binti Abu Bakar menemui Rasulullah saw. dengan memakai pakaian yang tipis. Lalu Rasulullah berpaling daripadanya……” HR. Abu Daud
Perempuan Memakai Wewangian
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ: لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ. رواه أحمد وأبو داود
Dari Abu Hurairah, Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,”Janganlah kamu menghalangi isteri-isterimu (pergi) ke mesjid-mesjid Allah, akan tetapi hendaklah mereka keluar itu dengan tidak memakai wewangian”. H.r. Ahmad dan Abu Daud
عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللهِ قَالَتْ: قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيبًا. رواه مسلم
Dari Zaenab isteri Abdullah, ia berkata,”Rasulullah saw. pernah bersabda kepada kami,’Apabila salah seorang di antara kamu pergi ke mesjid, maka janganlah memakai wewangian”. H.r. Muslim
Wanita di hadapan Banci
Imam Al-Bukhari, muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari Aisah dan Ummu Salamah, keduanya mengatakan:
أن مُخَنَّثًا كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أَهْلِ رَسُولِ اللهِ ص وكَانُوا يَعُدُّونَهُ مِنْ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ. فَدَخَلَ النَّبِيُّ ص عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ وَعِنْدَهَا هذَا الْمُخَنَّثُ وَعِنْدَهَا أَخُوهَا (عَبْدُ اللهِ بْنُ أُمَيَّةَ) فَالْمُخَنَّثُ يَقُولُ: يَا عَبْدَ اللهِ! إِنْ فَتَحَ اللهُ عَلَيْكَ الطَّائِفَ فَعَلَيْكَ بِابْنَةِ غَيْلاَنَ فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ.فَسَمِعَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا عَدُوَّ اللهِ! لَقَدْ غَلْغَلْتَ النَّظَرَ فِيهَا. ثُمَّ قَالَ ِلأُمِّ سَلَمَةَ: لاَ يَدْخُلَنَّ هذا عَلَيْكِ
Bahwasanya seorang banci (laki-laki yang menyerupai perempuan) selalu masuk kepada keluarga Rasulullah saw (isteri-isterinya). Mereka menganggapnya seorang yang tidak mempunyai keinginan kepada wanita (Ulul Irbah). Lalu Nabi saw. masuk ke rumah Ummu Salamah, yang ketika itu ada seorang banci dan saudaranya (Abdullah bin umayyah.) Pada saat itu si banci sedang berkata kepada Abdullah,’hai Abdullah! Jika Allah menakdirkan kamu masuk kota Thaif, hendaklah kamu mengambil puteri Ghailan, karena sesungguhnya perempuan itu dapat menjamin kamu (berhubungan) dari muka empat kali dan dari belakang empat kali. Mendengar perkataan itu, Rasulullah bersabda,”Hai Musuh Allah! Sungguh enkau telah mengetahui dengan sedalam-dalam tentang perempuan itu. Kemudian beliau bersabda kepada Ummu Salamah,’Janganlah sekali-kali orang ini masuk ke (rumah)mu”.
Perempuan Muslim di hadapan Non Muslim
قَالَ عُبَادَةُ بْنُ نُسَيٍّ: كَتَبَ عُمَرَ إِلَى أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَاحِ أَنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّ نِسَاءَ أَهْلِ الذِّمَّةِ يَدْخُلْنَ الْحَمَامَاتِ مَعَ نِسَاءِ الْمُسْلِمِينَ فَامْنَعْ مِنْ ذلِكَ وَحَلَّ دُوْنَهُ فَإِنَّهُ لاَيَجُوزُ أَنْ تَرَى الذِّمِّيَّةُ عِرْيَةَ الْمُسْلِمَةِ. تفسير الصابوني و القرطبي
Ubadah bin Nusayy berkata,”Umar telah menulis surat kepada Abu Ubaidah bin Al-Jarah, bahwa perempuan-perempuan Ahludz-Dzimmah (kafir yang ada perlindungan Islam) masuk ke tempat mandi bersama perempuan-perempuan muslimah! Cegahlah mereka agar tidak berbuat seperti itu dan halal selain itu., karena sesungguhnya perempuan kafir tidak boleh melihat aurat perempuan muslimah. Tafsir Ash-Shobunu, II:161 dan Al-Qurthubi, XII:233
Perempuan Safar
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ؟ فَقَالَ: اُخْرُجْ مَعَهَا. رواه البخاري ومسلم
Dari Ibnu Abbas, ia berkata,”Nabi saw. bersabda,’Janganlah perempuan safar kecuali bersama mahromnya, dan tidak boleh seorang laki-laki menemuinya kecuali bersama perempuan ada mahromnya. Seseorang bertanya,’Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku hendak pergi berperang anu dan perang anu sedang isteriku akan ibadah haji? Maka beliau menjawab,’Pergilah kamu (beribadah haji) bersama isterimu”. H.r Al-Bukhari dan Muslim
Perempuan Memakai Cemara
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: زَجَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ تَصِلَ الْمَرْأَةُ بِرَأْسِهَا شَيْئًا. رواه مسلم
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata”NAbi saw. melarang perempuan menyambung sesuatu pada rambutnya”. H.r. Muslim
قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ: قَدِمَ مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ الْمَدِينَةَ ...فَخَطَبَنَا فَأَخْرَجَ كُبَّةً مِنْ شَعَرٍ فَقَالَ: مَا كُنْتُ أُرَى أَنَّ أَحَدًا يَفْعَلُ هَذَا غَيْرَ الْيَهُودِ. وَإِنَّ النَّبِيَّسَمَّاهُ الزُّورَ يَعْنِي الْوِصَالَ فِي الشَّعَرِ. رواه البخاري ومسلم
Said bin Al-Musayyab berkata,”Muawiyah bin Abu Sufyan pernah datang ke Madinah...Lalu ia mengkhutbahi kami terus mengeluarkan secekak rambut, seraya berkata,’Aku tidak pernah melihat seorang yang berbuat seperti ini (memakai cemara) selain Yahudi. Sesungguhnya NAbi saw. menamai pamakainya itu az-zur (pemalsu/penipu), yaitu perempuan yang menyambung sesuatu pada rambutnya”. H.r . Al-Bukhari dan Muslim
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ جَارِيَةً مِنَ اْلأَنْصَارِ تَزَوَّجَتْ وَأَنَّهَا مَرِضَتْ فَتَمَعَّطَ شَعَرُهَا فَأَرَادُوا أَنْ يَصِلُوهَا فَسَأَلُوا النَّبِيَّ فَقَالَ: لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ. رواه البخاري
Dari Aisah,”Bahwasanya seorang perempuan Anshar telah menikah, sedang ia sakit lalu rambutnya rontok. Kemudian keluarganya hendak menyambungnya, tapi mereka bertanya dahulu kepada NAbi saw. beliau bersabda,’Allah melaknat perempuan yang menyambung rambutnya dan perempuan yang minta disambung rambutnya”. H.r. Al-Bukhari
Perempuan Memakai Tato, Menggunduli Rambut, Mencukur habis Alis dan Mengikir Gigi
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ. رواه البخاري
Dari Ibnu Umar,”Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,’Allah melaknat perempuan yang menyambung rambut dan yang minta disambung, perempuan yang bertato dan minta ditato”. Al-Bukhari
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ أَنْ تَحْلِقَ الْمَرْأَةُ رَأْسَهَا. رواه النسائي والترمذي
Dari Ali, ia berkata,”Rasulullah saw. melarang perempuan mencukur habis rambutnya”. H.r. An-Nasai dan At-Tirmidzi
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ :...سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ النَّامِصَةِ وَالْوَاشِرَةِ...رواه أحمد ومسلم
Dari Ibnu Masud, ia berkata,’...Aku mendengar Rasulullah saw. melarang perempuan yang mencukur habis alis dan mengikir gigi”. H.r. Ahmad dan Muslim
Katakanlah (olehmu Muhammad), kepada wanita-wanita mukminat, hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suaminya, bapaknya, bapak dari suaminya, puteranya, putera dari suaminya, saudaranya, putera dari saudara laki-lakinya, putera dari sadara perempuannya, perempuan muslim (lainnya), hamba sahaya yang mereka miliki, pelayanan yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan, dan janganlah mereka memukulkan kakinya (ke bumi) agar diketahui perhiasan yang tersembunyi (pada kakinya itu), bertaubatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar mendapat keberuntungan. An-Nur:31
Tafsir Mufradat
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ “dan hendaklah memelihara kemaluannya”. Al-Qurtubi mengatakan, yang dimaksud ayat ini mencakup perintah menutup aurat dan memeliharanya dari perbuatan zina sebagaimana dalam hadis diterangkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada kakek Bahz yang bernama Muawiyah bin Haidah:
ِاحْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
”Peliharalah auratmu melainkan kepada isterimu atau hamba sahaya yang kamu miliki! H.r. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah
Dan dalam Alquran diterangkan:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ * إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. المؤمنون:5-6
(orang-orang yang beriman itu adalah) mereka yang memelihara kemaluannya. Kecuali kepada isteri-isterinya atau hamba sahaya yang mereka miliki. Al-Mu’minun:5-6
زِينَتَهُنَّ adalah perhiasan, seperi, anting, kalung, gelang dan lain-lain. Atau bisa juga yang dimaksud oleh ayat adalah, anggota-anggota tubuh yang biasa ditempeli perhiasan yang anggota tubuh tersebut haram dilihat oleh orang yang bukan mahramnya.
مَا ظَهَرَ مِنْهَا إِلاَّ (kecuali yang biasa nampak daripadanya). Lafad ayat ini mubham, artinya perlu penjelasan dan batasan yang jelas, sebab dalam Alquran tidak diterangkan secara sarih (jelas) apa yang dimaksud ma zahara minha. Namun, ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud ayat itu adalah baju, cincin jari atau perhiasan lainnya yang tidak dapat disembunyikan. Ada juga yang berpendapat, maksudnya adalah wajah dan telapak tangan. Pembahasan ini –Insya Allah- akan dijelaskan dalam sub judul Ahkamusy Syar’i.
بِخُمُرِهِنَّ : Lafad ini bentuk jamak dari خمار yang berarti tutup kepala. Ibnul Manzhur berkata dalam kitabnya Lisanul Arab,”Khimar itu sesuatu yang biasa digunakan tutup kepala oleh perempuan”.
جُيُوبِهِنَّ : Lafad ini jamak dari جيب yang biasa diterjemah dengan dada., padahal arti pokok adalah sebuah lubang di bagian atas jilbab atau baju, yang dengan adanya lubang tersebut terlihatlah sebagian dada perempuan. (Tafisur Munir juz XVIII:211 dan Tafsir Ash-Shabuni II: 144-145)
Sababun Nuzul Ayat
Abdullah bin Jabir menceriterakan, bahwasanya Asma binti Mirtsad memiliki sebuah kebun kurma. Lalu ada beberapa perempuan memasuki kebun tersebut tanpa memakai izar (pakaian sejenis sarung) sehingga nampak gengge, dada dan jambul mereka. Maka Asma berkata kepada mereka,” ما أقبح هذا (Betapa jeleknya perbuatan kalian ini)”. Kemudian turunlah ayat di atas. H.r. Ibnu Abu Hatim
Makna Global Ayat
Pada ayat sebelumnya, yakni Alquran surat An-Nur:30, Allah swt. memerintahkan kepada laki-laki mukmin agar menundukkan sebagian pandangan serta memelihara kemaluan dan auratnya. Demikian juga dalam ayat ini, Allah swt. memerintahkan kepada perempuan-perempuan mukminat hal yang sama. Namun, dalam ayat ini ada tambahan yaitu, mereka tidak boleh menampakkan perhiasaannya kecuali kepada mahramnya, karena hal itu lebih utama dan lebih terpelihara baginya, kecuali perhiasan yang biasa nampak, seperti baju, cincin, celak, atau yang lainnya, itupun tanpa ada maksud memperlihatkannya, memakainya dengan sombong atau niat yang jelek. Sebab dalam hadis diterangkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ يَمْشِي فِي بُرْدَيْهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ فَخَسَفَ اللهُ بِهِ اْلأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. رواه أحمد ومسلم
Dari Abu Hurairah, ia berkata,”Rasululah saw. bersabda,”Ada seseorang berjalan (berlagak) dengan sombong pada pakaian yang dikenainya. Sungguhnya hatinya merasa kagum dengan perbuatannya. Lalu Allah menenggelamkan orang tersebut ke bumi. Maka ia akan terus-menerus berada di dalamnya hinga hari kiamat”. H.r. Ahmad dan Muslim
Sungguh kita telah ketahui, bahwa orang-orang jahiliyah memutuskan dan bertindak segala sesuatu tanpa memakai hukum Allah, demikian juga dalam hal berpakaian. Perempuan-perempuan pada jaman jahiliyah berpakaian sekehendak hati mereka sendiri, yang penting suka atau orang lain suka melihatnya. Ternyata hal itu pun masih dilakukan oleh mayoritas perempuan muslim jaman sekarang. Mereka berpakaian asal senang, bagus atau indah, tetapi tidak memperhatikan batas auratnya yang ditetapkan Allah, malah tidak sedikit yang merasa bangga memperlihatkan bahkan mempertontonkan aurat kepada yang bukan mahramnya. Ada juga yang memakai tutup kepala, tapi hanya disimpam di atas pundaknya atau di tarik sedikit ke atas hingga terlihat rambut bagian depan dan lehernya.
Setiap muslim wajib mengetahui, bahwa Allah swt. telah memerintahkan umat-Nya untuk menutup aurat. Setelah mengetahui, maka ia wajib melaksanakan perintah tersebut. Bila dilanggar, maka akan ada sangsi dari Allah. Dalam hadis diterangkan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَزَعَتْ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا هَتَكَتْ سِتْرَ مَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ رَبِّهَا. وفي لفظ "خَرَّقَ اللهُ عَنْهَا سِتْرًا. رواه أحمد
Dari Aisyah, ia berkata, ”Aku mendengar Rasululah saw. bersabda, ’Perempuan mana saja yang membuka baju bukan di rumah suaminya (memperlihatkan kepada yang bukan mahramnya), maka ia telah membuka aib antara dia dan Tuhannya”. Dan dalam lafad lain “Pasti Allah akan membukakan aibnya” . H.r. Ahmad
Perintah menutup aurat ini, tidak lain untuk menjaga keutamaan, kehormatan, dan menjaga dirinya dari kejahatan yang timbul akibat dari memperlihatkan aurat tersebut. Selain itu, orang senantiasa menutup auratnya karena mengharapkan rida dan maghfirah-Nya akan mendapat derajat yang sangat mulia di hadapan Allah swt.
Arti Aurat
Kata aurat mempunyai dua arti yaitu, pertama; berarti bagian tubuh manusia yang malu bila dilihat orang lain. Kedua; berarti kelemahan, tidak ada kemampuan bertahan atau membela diri bila di serang. Misalnya dalam Alquran surat Al-Ahzab ayat 13 diterangkanإن بيوتناعورة “Sesungguhnya rumah kami beraurat”, artinya tidak sanggup menahan bahaya maling sebab pintu dan dindingnya gampang dibongkar orang. (Ar-Raghib Al-Asfahani 365)
Oleh karena itu, dengan dua arti tersebut K.H.E. Abdurahman mengatakan, ”Aurat itu memberi isyarat akan adanya sesuatu yang berharga, menarik dan mengundang nafsu orang untuk mengganggunya. Oleh karena itu, bila pertahanan yang melindunginya tidak kuat (penutup aurat), tentulah simpanan yang berharga itu mudah dicuri atau dirampas orang”. (Risalah kecil, tahun 1969)
Hukum Menutup Aurat dan Memperlihatkannya
Dalam AlQuran surat An-Nur:31 di atas diterangkan dengan tegas dan jelas, bahwa menutup aurat itu wajib hukumnya dan haram memperlihatkannya. Demikian juga dalam hadis Nabi saw. Beliau bersabda kepada kakek Bahz bin Hakim:
احفظ عورتك إلا من زوجتك أو ما ملكت يمينك. قلت : فإذا كان القوم بعضهم في بعض؟ قال : إن استطعت أن لا يراها أحد فلا يرينها. قلت : فإذا كان أحدنا خاليا؟ قال : فالله أحق أن يستحيى منه. رواه الخمسة إلا النسائي
“Jagalah auratmu kecuali kepada istrimu dan hambamu” Aku berkata, (bagaimana) kalau kaum itu, sebagiannya bercampur dengan sebagian yanmg lain? Nabi menjawab, ’Kalau engkau mampu seorangpun tidak melihatnya, maka janganlah kamu sekali-kali memperlihatkannya’. Aku bertanya, ’Bagaimana kalau salah seorang dari kami sendirian? Nabi menjawab, ’Maka Allah lebih berhak (kamu) malu kepada-Nya.” HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasai
عن ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالتَّعَرِّيَ فَإِنَّ مَعَكُمْ مَنْ لاَ يُفَارِقُكُمْ إِلاَّ عِنْدَ الْغَائِطِ وَحِينَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى أَهْلِهِ فَاسْتَحْيُوهُمْ وَأَكْرِمُوهُمْ. رواه الترمذي
Dari Ibnu umar, ia berkata, ”Bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda, ’Janganlah kamu membuka auratmu, karena sesungguhnya bersamamu ada orang-orang yang tidak dapat berpisah denganmu, melainkan ketika buang hajat dan ketika seseorang mendatangi isterinya, malulah dan hormatilah mereka.” H.r. At-Tirmidzi
Batas Aurat Wanita
Kaum wanita memiliki daya tarik yang sangat kuat. Setiap jengkal dari anggota tubuhnya, mulai dari rambut hingga ujung kakinya, memiliki daya tarik bagi kaum pria. Itulah sebabnya kaum wanita diperintahkan untuk menutup seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan, seperti diterangkan :
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَمِنْهَا, وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُورِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
…Dan janganlah mereka (kaum mukminat) menampakkan perhiasaanya melainkan yang biasa nampak daripadanya, dan hendaklah mereka menutupi dada-dada mereka…An;Nur : 31
Yang dimaksud “ma zhahara minha” dalam hadis diterangkan:
عن أم سلمة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يرى منها إلا هذا وهذا, وأشار إلى وجهه وكفيه. رواه أبو داود
Dari Ummu Salamah, ia berkata, ”Rasulullah saw. bersabda, ’Sesungguhnya perempuan itu apabila telah mengalami haid tidak boleh terlihat daripadanya melainkan ini dan ini, beliau berisyasat kepada wajah dan kedua telapak tangannya.” H.r. Abu daud
Selain itu, ada keterangan lain yang menguatkan bahwa hanya telapak tangan dan wajahlah yang bukan aurat.
عَنْ مُحَمَّدٍ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ : فَلاَ تُصَلِّيَنَّ جَارِيَةٌ مِنْهُنَّ وَقَدْ حَاضَتْ إِلاَّ وَعَلَيْهَا خِمَارٌ. رواه أحمد
Dari Muhammad, ia berkata, ’Bahwa Aiysah berkata, ”Maka janganlah hamba sahaya perempuan di antara kamu melakukan salat padahal sudah mengalami haid kecuali memakai khimar (tutup kepala).” H.r. Ahmad
اَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ سَأَلَتِ النَّبِيَّ : أَتُصلِّى المَرْأَةُ فِي دِرْعٍ وَخِمَارٍ وَلَيْسَ عَلَيْهَا إِزَارٌ؟ قَالَ : إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّى ظَهْرَ قَدَمَيْهَا. رواه أبو داود
“Sesungguhnya Ummu Salamah bertanya kepada Nabi “Bolehkah seorang wanita shalat dengan mengenakan baju kurung dan khimar (kain penutup kepala) dan tidak memakai izar (kain sejenis sarung)? Nabi menjawab, ‘(Boleh) bila keadaaan baju kurung itu menutupi kedua kakinya.” H.r. Abu Daud
Menutup aurat bagi wanita, bukan hanya sekedar memakai baju atau pakaian saja, melainkan harus diperhatikan layak dan tidaknya pakaian tersebut, seperti memakai pakaian yang tipis hingga terlihat bentuk tubuh atau pakaian yang ketat hingga membentuk lekuk tubuh. Sebab cara berpakaian seperti itu dilarang oleh islam, siapapun yang melanggarnya akan mendapatkan sangsi. Sehubungan dengan masalah tersebut, Rasulullah saw bersabda :
يَارُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُنْيَا عَارِيَةٌ فِي الاَخِرَةِ. رواه اليخاري
‘Perhatikanlah! Tidak sedikit yang berpakaian di dunia, (tetapi mereka) telanjang di akhiratnya”. HR. Al-Bukhari
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam syarah Al-Bukhari, yakni Fatul Bari menerangkan: Yang dimaksud hadis tersebut ada dua pengertian, pertama ialah:
كَا سِيَةٌ فِي الدُنْيَا بِالثِيَابِ لِوُجُوْدِ الْغِنَى عَارِيَةٌ فِي اْلاَخِرَةِ مِنَ الثَوَابِ لِعَدَمِ اْلعَمَلِ فِي الدُّنْيَا
“Berpakaian di dunia dengan pakaian (yang lengkap) disebabkan adanya kemampuan, tetapi telanjang di akhirat dari ganjaran (tidak mendapat kebaikan) disebabkan tidak ada amal sholeh di dunianya”.
Sedangkan pengertian yang kedua ialah
كَا سِيَةٌ بِالثِّيَابِ لَكِنَّهَا شَفَفَةُ لاَ تَسْتُرُ عَوْرَتَهَا فَتَعَاقَبَ فِي الاَخِرَةِ بِالْعُرَى جَزَاءً ذَلَكَ
“Berpakaian dengan macam-macam baju tetapi pakaiannya membayang (sehingga) tidak menutup auratnya, maka dia disiksa di akhirat dengan telanjang (kehinaan) sebagai balasannya.”
Maksud tersebut diperkuat dengan hadis Rasulullah yang melarang seorang perempuan memakai pakaian yang tipis hingga terlihat lekuk tubuhnya.
أَنَّ اَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِى بَكرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم عليها ثِيَا بٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللهِ
“Bahwasanya Asma binti Abu Bakar menemui Rasulullah saw. dengan memakai pakaian yang tipis. Lalu Rasulullah berpaling daripadanya……” HR. Abu Daud
Perempuan Memakai Wewangian
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ: لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ. رواه أحمد وأبو داود
Dari Abu Hurairah, Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,”Janganlah kamu menghalangi isteri-isterimu (pergi) ke mesjid-mesjid Allah, akan tetapi hendaklah mereka keluar itu dengan tidak memakai wewangian”. H.r. Ahmad dan Abu Daud
عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللهِ قَالَتْ: قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيبًا. رواه مسلم
Dari Zaenab isteri Abdullah, ia berkata,”Rasulullah saw. pernah bersabda kepada kami,’Apabila salah seorang di antara kamu pergi ke mesjid, maka janganlah memakai wewangian”. H.r. Muslim
Wanita di hadapan Banci
Imam Al-Bukhari, muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari Aisah dan Ummu Salamah, keduanya mengatakan:
أن مُخَنَّثًا كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أَهْلِ رَسُولِ اللهِ ص وكَانُوا يَعُدُّونَهُ مِنْ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ. فَدَخَلَ النَّبِيُّ ص عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ وَعِنْدَهَا هذَا الْمُخَنَّثُ وَعِنْدَهَا أَخُوهَا (عَبْدُ اللهِ بْنُ أُمَيَّةَ) فَالْمُخَنَّثُ يَقُولُ: يَا عَبْدَ اللهِ! إِنْ فَتَحَ اللهُ عَلَيْكَ الطَّائِفَ فَعَلَيْكَ بِابْنَةِ غَيْلاَنَ فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ.فَسَمِعَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا عَدُوَّ اللهِ! لَقَدْ غَلْغَلْتَ النَّظَرَ فِيهَا. ثُمَّ قَالَ ِلأُمِّ سَلَمَةَ: لاَ يَدْخُلَنَّ هذا عَلَيْكِ
Bahwasanya seorang banci (laki-laki yang menyerupai perempuan) selalu masuk kepada keluarga Rasulullah saw (isteri-isterinya). Mereka menganggapnya seorang yang tidak mempunyai keinginan kepada wanita (Ulul Irbah). Lalu Nabi saw. masuk ke rumah Ummu Salamah, yang ketika itu ada seorang banci dan saudaranya (Abdullah bin umayyah.) Pada saat itu si banci sedang berkata kepada Abdullah,’hai Abdullah! Jika Allah menakdirkan kamu masuk kota Thaif, hendaklah kamu mengambil puteri Ghailan, karena sesungguhnya perempuan itu dapat menjamin kamu (berhubungan) dari muka empat kali dan dari belakang empat kali. Mendengar perkataan itu, Rasulullah bersabda,”Hai Musuh Allah! Sungguh enkau telah mengetahui dengan sedalam-dalam tentang perempuan itu. Kemudian beliau bersabda kepada Ummu Salamah,’Janganlah sekali-kali orang ini masuk ke (rumah)mu”.
Perempuan Muslim di hadapan Non Muslim
قَالَ عُبَادَةُ بْنُ نُسَيٍّ: كَتَبَ عُمَرَ إِلَى أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَاحِ أَنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّ نِسَاءَ أَهْلِ الذِّمَّةِ يَدْخُلْنَ الْحَمَامَاتِ مَعَ نِسَاءِ الْمُسْلِمِينَ فَامْنَعْ مِنْ ذلِكَ وَحَلَّ دُوْنَهُ فَإِنَّهُ لاَيَجُوزُ أَنْ تَرَى الذِّمِّيَّةُ عِرْيَةَ الْمُسْلِمَةِ. تفسير الصابوني و القرطبي
Ubadah bin Nusayy berkata,”Umar telah menulis surat kepada Abu Ubaidah bin Al-Jarah, bahwa perempuan-perempuan Ahludz-Dzimmah (kafir yang ada perlindungan Islam) masuk ke tempat mandi bersama perempuan-perempuan muslimah! Cegahlah mereka agar tidak berbuat seperti itu dan halal selain itu., karena sesungguhnya perempuan kafir tidak boleh melihat aurat perempuan muslimah. Tafsir Ash-Shobunu, II:161 dan Al-Qurthubi, XII:233
Perempuan Safar
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ؟ فَقَالَ: اُخْرُجْ مَعَهَا. رواه البخاري ومسلم
Dari Ibnu Abbas, ia berkata,”Nabi saw. bersabda,’Janganlah perempuan safar kecuali bersama mahromnya, dan tidak boleh seorang laki-laki menemuinya kecuali bersama perempuan ada mahromnya. Seseorang bertanya,’Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku hendak pergi berperang anu dan perang anu sedang isteriku akan ibadah haji? Maka beliau menjawab,’Pergilah kamu (beribadah haji) bersama isterimu”. H.r Al-Bukhari dan Muslim
Perempuan Memakai Cemara
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: زَجَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ تَصِلَ الْمَرْأَةُ بِرَأْسِهَا شَيْئًا. رواه مسلم
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata”NAbi saw. melarang perempuan menyambung sesuatu pada rambutnya”. H.r. Muslim
قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ: قَدِمَ مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ الْمَدِينَةَ ...فَخَطَبَنَا فَأَخْرَجَ كُبَّةً مِنْ شَعَرٍ فَقَالَ: مَا كُنْتُ أُرَى أَنَّ أَحَدًا يَفْعَلُ هَذَا غَيْرَ الْيَهُودِ. وَإِنَّ النَّبِيَّسَمَّاهُ الزُّورَ يَعْنِي الْوِصَالَ فِي الشَّعَرِ. رواه البخاري ومسلم
Said bin Al-Musayyab berkata,”Muawiyah bin Abu Sufyan pernah datang ke Madinah...Lalu ia mengkhutbahi kami terus mengeluarkan secekak rambut, seraya berkata,’Aku tidak pernah melihat seorang yang berbuat seperti ini (memakai cemara) selain Yahudi. Sesungguhnya NAbi saw. menamai pamakainya itu az-zur (pemalsu/penipu), yaitu perempuan yang menyambung sesuatu pada rambutnya”. H.r . Al-Bukhari dan Muslim
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ جَارِيَةً مِنَ اْلأَنْصَارِ تَزَوَّجَتْ وَأَنَّهَا مَرِضَتْ فَتَمَعَّطَ شَعَرُهَا فَأَرَادُوا أَنْ يَصِلُوهَا فَسَأَلُوا النَّبِيَّ فَقَالَ: لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ. رواه البخاري
Dari Aisah,”Bahwasanya seorang perempuan Anshar telah menikah, sedang ia sakit lalu rambutnya rontok. Kemudian keluarganya hendak menyambungnya, tapi mereka bertanya dahulu kepada NAbi saw. beliau bersabda,’Allah melaknat perempuan yang menyambung rambutnya dan perempuan yang minta disambung rambutnya”. H.r. Al-Bukhari
Perempuan Memakai Tato, Menggunduli Rambut, Mencukur habis Alis dan Mengikir Gigi
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ. رواه البخاري
Dari Ibnu Umar,”Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,’Allah melaknat perempuan yang menyambung rambut dan yang minta disambung, perempuan yang bertato dan minta ditato”. Al-Bukhari
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ أَنْ تَحْلِقَ الْمَرْأَةُ رَأْسَهَا. رواه النسائي والترمذي
Dari Ali, ia berkata,”Rasulullah saw. melarang perempuan mencukur habis rambutnya”. H.r. An-Nasai dan At-Tirmidzi
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ :...سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ النَّامِصَةِ وَالْوَاشِرَةِ...رواه أحمد ومسلم
Dari Ibnu Masud, ia berkata,’...Aku mendengar Rasulullah saw. melarang perempuan yang mencukur habis alis dan mengikir gigi”. H.r. Ahmad dan Muslim
Selasa, 10 Februari 2009
MENYIKAPI FATWA HARAM GOLPUT
Pengantar
Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI baru-baru ini mengenai diharamkannya “golput” menuai berbagai reaksi. Ada yang pro dan ada yang kontra. Sebagai pemilih pemula, tentu (saya dalam hal ini) cukup bingung untuk menentukan sikap. Apakah saya harus ikut-ikutan pro atau bahkan kontra terhadap situasi ini. Tapi saya juga tahu, sikap yang hanya membebek alias ikut-ikutan bukanlah sikap seorang muslim. Karena seorang muslim itu dalam memutuskan dan melakukan sesuatu harus berdasarkan ilmu, bukan sekedar ikut-ikutan (taklid). Sekarang coba kita telusuri mengapa kontroversi ini bisa terjadi.
Yang Kontra, Yang Kecewa
Sebagian dari mereka yang tidak setuju dengan fatwa haram golput beralasan bahwa tak ada gunanya mereka memilih wakil rakyat. Karena, selama ini mereka kecewa dengan wakil rakyat yang telah mereka pilih pada pemilu lalu. Mereka kecewa karena sampai saat ini janji-janji para wakil rakyat tak kunjung terpenuhi. Janji peningkatan kesejahteraan seolah hilang seiring dengan didudukinya kursi-kursi parlemen itu. Iklan-iklan partai yang menggambarkan keberhasilan dalam peningkatan kesejahteraan rakyat akhir-akhir ini hanyalah omong kosong belaka. Bahkan iklan-iklan tersebut membuat “para barisan sakit hati” meyakinkan dirinya untuk golput. Rasa kecewa ini cukup beralasan, hal ini memang fakta. Dari pemilu lalu sampai menjelang pemilu beberapa bulan kedepan, rakyat miskin tetap miskin, bayi busung lapar semakin banyak, anak gizi buruk tak sedikit. Inilah golongan pertama yang kontra terhadap fatwa tersebut.
Yang Kontra, Ingin Mengubah Sistem
Sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia adalah sistem Demokrasi. Menurut sebagian kalangan menilai bahwa sistem yanmg ada saat ini tidak mampu menyelesaikan berbagai permasalahan di Indonesia. Nyata, sistem yang dianggap paling sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia tidak mampu mengarahkan Indonesia ke arah yang lebih baik. Kini, semakin banyak kaum intelektual yang mulai mempelajari sistem syariat Islam dan mulai menyadari bahwa sudah saatnya sistem yang ada saat ini diganti dengan sistem yang paling baik, yakni Sistem berdasarkan syariat Islam.
Tidak banyak partai yang menawarkan penegakan syariat Islam sebagai tujuannya. Kalaupun ada, tetap saja ketika mereka berada di parlemen mereka ikut tergusur dengan arus demokrasi yang begitu besar. Jadi? Sama saja, tak ada artinya memilih (walaupun memilih partai yang berasaskan syariat Islam), jika terlalu banyak yang mendukung “sistem yang buruk”, maka yang baik pun akan terbawa arus. Inilah golongan kedua yang kontra dengan fatwa tersebut.
Perbaikan Bangsa Tanggung Jawab Semua
Ajang pemilu adalah sebuah upaya perbaikan nasib bangsa. Ada harapan ketika pemilu tiba, akan hadir sosok pilihan yang dapat mengubah nasib bangsa menjadi lebih baik. Rugi rasanya jika pesta demokrasi yang menghabiskan dana yang tak sedikit dihadapi dengan golput. Setidaknya, diantara sekian banyak pilihan, kita dapat memilih salah satu “yang terbaik diantara yang terburuk”. Dan tertanam sebuah harapan bahwa “dia” yang dipilih adalah yang terbaik yang mampu melangkahkan Indonesia sedikit ke arah yang lebih baik.inilah ulasan dari merekayang pro terhadap fatwa ini selain juga dari mereka yang memiliki kepentingan dengan dikeluarkannya fatwa ini.
Saya, Pemilih Pemula, Mau Bagaimana?
Sedikit yang saya tahu selama ini bahwa memilih dan dipilih dalam negara ini merupakan hak warga negara. Menurut saya, sesuatu yang dikatakan hak adalah apa yang harus dipenuhi pihak lain kepada pihak yang memiliki hak. Dalam hal ini, bila pihak yang berkewajiban memenuhi hak telah menyelesaikan kewajibannya, maka keputusan akan dikembalikan kepada pihak yang memiliki hak apakah hak itu akan ia ambil atau bahkan tidak diambilnya sama sekali. Kembali pada pernyataan awal tadi bahwa memilih dan dipilih adalah hak warga negara, artinya adalah hak warga negara juga ia mau memilih atau bahkan tidak mau memilih dalam pemilu, seperti halnya juga hak untuk dipilih, setiap warga negara berhak mencalonkan dirinya untuk dipilih atau bahkan tidak dipilih dan tidak ada pemaksaan untuk setiap warga negara mencalonkan dirinya untuk dipilih.
Berfikirlah bijak! Saya tahu bahwa mereka yang telah mengeluarkan fatwa tersebut bukanlah orang biasa. Mereka adalah orang-orang yang berilmu yang juga sudah memikirkan keputusan ini secara matang. Pasti ada alasan kuat yang melatarbelakangi dikeluarkannya keputusan ini.
Terjadi kontroversi merupakan hal yang wajar. Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai macam ras, suku, budaya, dsb. Beda kepala, beda isinya. Tapi yang harus difahami adalah dalam menyikapi berbagai kontroversi yang terjadi haruslah dihadapi dengan pemikiran yang rasional berdasarkan rujukan-rujukan yang benar serta sikap yang bijak.
Menurut saya, apapun keputusan yang diambil oleh masing-masing kepala hendaklah keputusan itu merupakan keputusan yang dibuat bukan karena ikut-ikutan, tapi berdasarkan pemikiran yang matang yang dilandasi olah rujukan-rujukan syar’I dan yang paling penting bahwa keputusan itu dibuat setelah kita memohon petunjuk Allah melalui do’a dan shalat istikhoroh agar kita tak salah melangkah.
Penutup
Hanya coretan inilah yang bisa saya sampaikan. Hanya berbekal sedikit kemauan dan sedikit pengetahuan serta informasi, saya bisa menyampaikan kata hati saya ini. Terlalu banyak kekurangan dalam coretan ini, semoga Allah mengampuninya dan para pembaca memakluminya.
Semoga Allah meridhoi apapun langkah kita untuk meraih ilmu Nya…
Wallahu ‘alam…..
Sabtu, 24 Januari 2009
kacau
kacau... kacau... kacau...
hari ini berantakan banget
astagfirullohal'adzim....
gak tau deh kenapa...
ya allah ampuni aku jika memang ada yang salah pada hari ini
ya allah... jangan sampai aku terputus dengan ridhoMu hari ini....
ya allah bantulah aku memperbaikihari ini....
hari ini berantakan banget
astagfirullohal'adzim....
gak tau deh kenapa...
ya allah ampuni aku jika memang ada yang salah pada hari ini
ya allah... jangan sampai aku terputus dengan ridhoMu hari ini....
ya allah bantulah aku memperbaikihari ini....
Selasa, 20 Januari 2009
HIDUPKU
Apa yang akan terjadi dalam hidup ini tak ada seorangpun yang tau. Aku selalu diam terpaku melihat apa yang segera terjadi di hadapanku. Selalu, hal yang tiba-tiba terjadi datang dalam hidupku tanpa bisa kuduga dan kuprediksi sebelumnya. Memprediksi hal-hal yang mungkin terjadi biasa kulakukan, tapi selalu, ada saja yang tak bisa kupredikdi. akhirnya aku menyadari, aku hanya manusia biasa. Semua yang terjadi berjalan atas kehendakNya. siapa yang tau apa yang akan terjadi sedetik kemudian? Tapi yang pasti aku hanya bisa memperkirakan, merencanakan apa yang akan terjadi dalam hidupku. Realita yang terjadi nanti, kita serahkan saja padaNya. Yang jelas aku sudah berusaha walaupun mungkin tak semaksimal apa yang bisa kulakukan.
Selasa, 06 Januari 2009
JANGAN DIAM, AYO BERGERAK!!!!
manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupannya, ia tak kan mampu hidup sendiri, ia memerlukan pihak-pihak lain untuk memenuhi segala kebutuhannya juga untuk mengisi hari-harinya. Hal seperti ini merupakan fitrah kemanusiaan. Membutuhkan orang lain sebagai tempat untuk berinteraksi menunjukkan eksistensi diri.
Dalam keadaan seperti ini, manusia dituntut untuk senantiasa bergerak mau tidak mau, suka atau tak suka, agar segala kebutuhannya (baik fisik, jiwa maupun kebutuhan sosialnya) dapat terpenuhi. Manusia yang diam merupakan manusia yang serba kekurangan. Bergerak dalam hal ini bukan hanya aktivitas keseharian biasanya saja, namun bergerak merupakan sebuah upaya manusia mengisi hari-harinya dengan karya, inovasi, perjuangan dan amalan yang tentunya sesuai dengan aturan Sang Pencipta, Allah SWT.
Manusia yang tak bergerak, tak berkarya, berinovasi, berjuang bahkan beramal, secara perlahan ia akan merasa dirinya hampa.
Bumi ini luas, banyak peluang dan kesempatan untuk bergerak, menghasilkan karya, mengembangkan potensi diri dalam berinovasiserta berjuang untuk meraih cita-cita tertinggi yaitu meraih ridlo-Nya. Salah satu peluang untuk melakukan hal-hal tersebut ada pada sebuah organisasi. Dalam sebuah organisasi, seseorang akan bertemu dengan orang-orang yang tentunya berbeda karakter, berbeda latar belakang, dan berbeda pemikiran. Namun, disinilah seseorang akan mampu belajar mengenali dirinya, mengenali karakter orang lain, sehingga pada akhirnya ia mampu melihat potensi yang dimilikinya untuk menghasilkan sebuah karya.
Ikhwan wa akhwat fillah yang mungkin kebetulan membaca coretan ini, khususnya akhwat PJM HIMI Persis Sukabumi, ingatlah jangan jadikan hidup kita hampa tanpa karya, dimanapun kita berada, apapun yang bisa kita lakukan, lakukanlah. Khususnya, apa yang dapat kita lakukan untuk PJM HIMI Persis Sukabumi, maka lakukanlah.
Semoga coretan singkat ini dapat menggugah hati yang sedang tidur, membangkitkan jiwa yang sedang hampa, ah pokoknya moga bermanfaat deh…..
Dalam keadaan seperti ini, manusia dituntut untuk senantiasa bergerak mau tidak mau, suka atau tak suka, agar segala kebutuhannya (baik fisik, jiwa maupun kebutuhan sosialnya) dapat terpenuhi. Manusia yang diam merupakan manusia yang serba kekurangan. Bergerak dalam hal ini bukan hanya aktivitas keseharian biasanya saja, namun bergerak merupakan sebuah upaya manusia mengisi hari-harinya dengan karya, inovasi, perjuangan dan amalan yang tentunya sesuai dengan aturan Sang Pencipta, Allah SWT.
Manusia yang tak bergerak, tak berkarya, berinovasi, berjuang bahkan beramal, secara perlahan ia akan merasa dirinya hampa.
Bumi ini luas, banyak peluang dan kesempatan untuk bergerak, menghasilkan karya, mengembangkan potensi diri dalam berinovasiserta berjuang untuk meraih cita-cita tertinggi yaitu meraih ridlo-Nya. Salah satu peluang untuk melakukan hal-hal tersebut ada pada sebuah organisasi. Dalam sebuah organisasi, seseorang akan bertemu dengan orang-orang yang tentunya berbeda karakter, berbeda latar belakang, dan berbeda pemikiran. Namun, disinilah seseorang akan mampu belajar mengenali dirinya, mengenali karakter orang lain, sehingga pada akhirnya ia mampu melihat potensi yang dimilikinya untuk menghasilkan sebuah karya.
Ikhwan wa akhwat fillah yang mungkin kebetulan membaca coretan ini, khususnya akhwat PJM HIMI Persis Sukabumi, ingatlah jangan jadikan hidup kita hampa tanpa karya, dimanapun kita berada, apapun yang bisa kita lakukan, lakukanlah. Khususnya, apa yang dapat kita lakukan untuk PJM HIMI Persis Sukabumi, maka lakukanlah.
Semoga coretan singkat ini dapat menggugah hati yang sedang tidur, membangkitkan jiwa yang sedang hampa, ah pokoknya moga bermanfaat deh…..
Jumat, 02 Januari 2009
WELCOME TO MY BLOG
alhmdulillah, akhirny Lis punya blog....
asyik baaaaangeeeetz....!
bisa nulis-nulis.....
apa aja deh
asyik baaaaangeeeetz....!
bisa nulis-nulis.....
apa aja deh
Langganan:
Postingan (Atom)